Jumat, 08 Januari 2016

SIAPAKAH "IL YASIN" DALAM SURAH ASH-SHAFFAT AYAT 130?


Surah ash-Shaffat ayat 130 makna harfiahnya "salam atas il yasin". Lantas siapakah "il yasin" pada ayat ini?

Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkannya.

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa maksudnya itu adalah Nabi Ilyas dan itu dalam dialek Bani Asad, namun mereka yang berpendapat seperti ini tidak menjelaskan apa hikmah dibalik perubahan ke dialek Bani Asad dalam ayat ini meskipun mereka mengetahui betul bahwa al-Quran turun atas dialek Quraisy.

Sebagian dari ahli tafsir mengatakan bahwa itu merupakan jamak dari Ilyas, maksudnya termasuk para sahabat Ilyas. Dan ada beberapa pendapat lainnya.

Namun dari beragam pendapat itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "il yasin" itu adalah [seharusnya dibaca] aali yasin, dan aali yasin itu maksudnya adalah aali Muhammad, karena nama lain Nabi Muhammad dalam al-Quran adalah Yasin. Dan mereka yang berpendapat seperti ini antara lain, lihat:

1. Ath-Thabari dalam tafsirnya "Jami' al-Bayan", jilid 23 halaman 61.

2. Ath-Thabrasi dalam tafsirnya "Majma' al-Bayan", jilid 23 halaman 82.

3. Asy-Syaukani dalam tafsirnya "Fathul Gadier", jilid 4 halaman 409.

4. Ar-Razi dalam tafsirnya, jilid 26 halaman 162, cetakan Mesir.

5. Al-Qurthubi dalam tafsirnya "Al-Jami' li Ahkamil Quran", jilid 15 halaman 119, cetakan Kairo.

6. Abu Hayyan dalam tafsirnya "Albahrul Muhith", jilid 7 halaman 373, cetakan as-Sa'adah, Mesir.

7. Ibnu Katsier dalam tafsirnya, jilid 4 halaman 20, cetakan Mesir.

8. As-Suyuthi dalam tafsirnya "Ad-Durr Al-Mantsurr", jilid 5 halaman 286, cetakan Mesir.

9. Al-Alusi dalam tafsirnya "Ruhul Ma'ani", jilid 23 halaman 129.

10. Al-'Asqalani dalam kitabnya "Lisanul Mizan", jilid 6 halaman 125, cetakan Haidar Aabadi.

11. Al-Haitsami dalam kitabnya "Majma' al-Zawaid", jilid 6 halaman 174, cetakan al-Qudsi, Kairo.

12. Al-Qanduzi dalam kitabnya "Yanabi'ul Mawaddah", halaman 354, cetakan al-Haidariyah.

13. Habib Abubakar bin Syihab dalam kitabnya "Rasyfah ash-Shadi", halaman 24, cetakan Mesir.

Jumat, 20 Desember 2013

Nasihat Luqman kepada Anaknya




Tafsir Indonesia Surat  

Luqman 13

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Terjemah (Ma’nahu walloohu subhaana wa ta’alaa bil a’lam) : Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.  (QS. 31 : 13).

Allah SWT memperingatkan kepada Rasulullah SAW nasihat yang pernah diberikan kepada putranya, waktu ia memberi pelajaran kepada putranya itu. Nasihat itu ialah : “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah kelaliman yang sangat besar”.
Mempersekutukan Allah dikatakan kelaliman, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu -yang melimpahkan nikmat dan karunia itu-. Dalam hal ini menyamakan Allah SWT sebagai sumber nikmat dan karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat sesuatupun.
Dikatakan bahwa perbuatan itu adalah kelaliman yang besar, karena yang disamakan itu ialah Allah SWT Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua makhluk mengabdi dan menghambakan diri kepada Nya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Masud, ia berkata : tatkala turun ayat :

الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون

Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al An’am : 82).
Maka timbullah keresahan di antara para sahabat Rasulullah SAW karena mereka berpendapat bahwa amat beratlah rasanya tidak mencampur adukkan keimanan dan kelaliman. Lalu mereka berkata kepada Rasulullah SAW : “Siapakah di antara kami yang tidak mencampur adukkan keimanan dan kelaliman?. Maka Rasulullah SAW menjawab : “Maksudnya bukan demikian, apakah kamu tidak mendengar perkataan Luqman : -Hai anakku, jangan kamu memperserikatkan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kelaliman yang besar-”.
Dari ayat ini dipahami bahwa di antara kewajiban ayah kepada anak-anaknya ialah memberi nasihat dan pelajaran, sehingga anak-anaknya itu dapat menempuh jalan yang benar, dan menjauhkan mereka dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة

Artinya :  ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (Q.S. At Tahrim : 6).
Jika diperhatikan susunan kalimat ayat ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Sayidina Luqman sangat melarang anaknya melakukan syirik. Larangan ini adalah suatu larangan yang memang patut di sampaikan Sayidina Luqman kepada putranya karena mengerjakan syirik itu adalah -suatu perbuatan dosa yang paling besar-.
***
Anak adalah -senantiasa yang menghidupkan harapan-. Sambungan hidup dari orang tuanya, cita-cita yang tidak mungkin dapat dicapai orang tua selama hidup di dunia diharapkan anak-nya lah yang akan mencapainya. Demikian pula kepercayaan yang dianut orang tuanya di samping budi pekerti yang luhur sangat diharapkan agar anak-anaknya menganut dan memiliki semuanya itu di kemudian hari.
Seakan-akan dalam ayat ini diterangkan bahwa Sayidina Luqman telah melakukan tugas yang sangat penting kepada anaknya. Yaitu telah menyampaikan agama yang benar dan budi pekerti yang luhur. Cara Sayidina Luqman menyampaikan pesan itu wajib dicontoh oleh setiap orang tua yang mengaku dirinya muslim. Semoga dari tulisan ini ada manfaat. Wallohu a’lam *** (iqbal1).
   


Tafsir Indonesia Surah Al Baqarah 260 :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ; وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Terjemah (Ma’nahu walloohu subhaana wa ta’alaa bil a’lam) : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim AS berkata, “Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. `Allah SWT berfirman :`Apakah kamu belum percaya?`. Ibrahim AS menjawab :`Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya. `Allah SWT berfirman :`(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera. `Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2 : 260).
Ayat ini menambahkan suatu perumpamaan lain tentang kekuasaan Allah SWT untuk menghidupkan kembali suatu makhluk yang telah mati.
Kalau pada ayat 258 dikemukakan peristiwa dialog antara Nabi Ibrahim AS dan raja Namrud, maka pada ayat ini diceritakan dialog antara Nabi Ibrahim AS dan Tuhannya.
Dengan penuh rasa kerendahan dan kehambaan kepada Allah SWT, Ibrahim AS,  mengajukan permohonan kepada-Nya agar Dia bermurah hati untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana cara Allah SWT menghidupkan makhluk yang telah mati.
Jika diperhatikan hanya sepintas lalu, maka permohonan Nabi Ibrahim AS ini memberikan kesan, bahwa ia sendiri seolah-olah masih mempunyai keragu-raguan tentang kekuasaan Allah Ta’ala menghidupkan kembali orang yang telah mati. Sebab itu Allah Ta’ala berfirman kepadanya : “Apakah engkau masih belum percaya bahwa Aku dapat menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati?”. Akan tetapi yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah demikian, sebab Nabi Ibrahim AS sama sekali tidak mempunyai keraguan tentang kekuasaan Allah Ta’ala.
Beliau mengajukan permohonan itu kepada Allah SWT bukan karena keragu-raguan melainkan karena ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana caranya Allah SWT menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati.
Maka Ibrahim AS menjawab : “Aku sedikit pun tidak meragukan kekuasaan Allah Ta’ala, akan tetapi aku mengajukan permohonan itu adalah untuk sampai kepada derajat -ainulyaqin-, yaitu keyakinan yang diperoleh setelah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, sehingga hatiku menjadi lebih tenteram, dan keyakinanku menjadi lebih kuat dan kokoh.”.
Allah Ta’ala mengabulkan permohonan itu. Lalu diperintahkan-Nya agar Ibrahim AS mengambil empat ekor burung kemudian menjinakkannya sehingga mereka akan datang kepadanya bila dipanggil. Kemudian Allah SWT menyuruh Ibrahim AS untuk meletakkan masing-masing burung itu di atas bukit tertentu yang berjauhan letaknya satu dengan yang lain.
Sesudah itu Ibrahim AS diperintankan-Nya untuk memanggil burung-burung tersebut. Dengan suatu panggilan saja, burung burung akan datang kepadanya dengan patuh dan taat.
***
Demikian pulalah halnya umat manusia di hari akhirat nanti. Apabila Allah SWT memanggil mereka dengan suatu panggilan saja, maka bangkitlah makhluk itu dan datang kepadanya serentak, dengan taat dan patuh kepada-Nya.
Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS diperintahkan Allah Ta’ala untuk memotong-motong tubuh burung-burung itu, kemudian meletakkan bagian-bagian tubuh burung tersebut pada bukit yang saling berjauhan letaknya. Akhirnya Ibrahim AS diperintahkan untuk memanggil burung-burung yang telah dipotong-potong sedemikian rupa itu. Namun ternyata burung-burung itu datang kepadanya dalam keadaan utuh seperti semula.
Tentu saja Allah Ta’ala mengembalikan burung-burung itu lebih dahulu kepada keadaan semula, sehingga dapat datang memenuhi panggilan Ibrahim AS.
Dengan ini dapatlah dipenuhi permohonan Ibrahim AS kepada Allah SWT untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah Ta’ala menghidupkan kembali makhluk yang telah mati, sehingga hatinya merasa tenteram dan keyakinannya semakin kokoh.
Pada akhir ayat ini Allah SWT memperingatkan kepada Ibrahim AS dan kepada manusia semuanya, agar mereka meyakini benar-benar, bahwa Allah sungguh Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Artinya kuasa dalam segala hal, termasuk menghidupkan kembali makhluk yang telah mati dan Ia Maha Bijaksana terutama dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada hamba-Nya, menuju jalan yang lurus dan benar.
Semoga bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya oleh kita sekalian, Amin. Wallohu a’lam *** (iqbal1).
   


لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌعَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS : 9 : 128).
Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-quran mula-mula disampaikan, karena Al-quran itu dalam bahasa Arab. Tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian ayat-ayat Al-quran itu. Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Al-quran, tentu orang-orang selain orang Arab lebih sukar mempercayainya.
Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab sebagaimana bunyinya : Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang rasul dari bangsamu sendiri yang kamu mengetahui sepenuhnya asal-usul kepribadiannya. Kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain.
Sebagian mufassirin menafsirkan perkataan “rasulun min anfusikum” dengan hadis :
قال صلى الله عليه وسلم : إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل واصطفى قريشا من كنانة واصطفى بني هاشم من قريش واصطفاني من بني هاشم
Artinya : Bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim.” (H.R. Muslim dan Tirmizi dari Wasilah bin Asqa’).
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari suku-suku pilihan dari suku-suku bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini. Nabi Muhammad SAW berasal dari keturunan orang-orang yang baik dan terhormat. Mempunyai sifat-sifat yang tinggi dan agung pula, yaitu :
1. Dia merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diingini, seperti ditimpa kehinaan karena dikuasai dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum muslimin. Sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.
2. Sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :

إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Artinya : Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong. (Q.S. An Nahl: 37).

Dan Allah berfirman :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Artinya : Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Q.S. Yusuf: 103).
3. Sangat belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhirat nanti. Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad saw. yang kedua sifat itu merupakan sifat-Nya sendiri, termasuk di antara “asmaulhusna”, yaitu sifat “rauf” (amat belas kasihan) dan sifat “rahim” (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya : Sesungguhnya Allah benar-benar amat Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 143).
Pemberian kedua sifat ini kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa Allah SWT menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang dimuliakan-Nya.
***
Ref. Tafsir Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 128 :

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

(Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri) dari kalangan kalian sendiri, yaitu Nabi Muhammad SAW. (berat terasa) dirasa berat (olehnya apa yang kalian derita) yaitu penderitaan kalian, yang dimaksud ialah penderitaan dan musibah yang menimpa diri kalian (sangat menginginkan bagi kalian) hidayah dan keselamatan (lagi terhadap orang-orang mukmin amat belas kasihan) sangat belas kasihan (lagi penyayang) ia selalu mengharapkan kebaikan bagi mereka.
***
Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya : 107). Wallohu Subhaana Wa Ta’alaa Bil A’lam *** (Iqbal1)



Tafsir Q.S. 108 : 1-3 (Al-Kautsar)
بِسْمِ اللهِ الرّ خْمنِ الرّ حِيْمِ
      1-إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak
Orang-orang musyrik di Mekah dan Orang-orang munafik di Madinah mencemoohkan dan mencaci-maki Nabi sebagai berikut :
a. Pengikut-pengikut Muhammad terdiri dari orang-orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan, kalau agama yang dibawanya itu benar tentu yang menjadi pengikutnya pengikut-pengikutnya orang-orang mulia yang berkedudukan di antara mereka. Ucapan ini bukanlah suatu keanehan, karena kaum Nuh juga dahulu kala telah menyatakan yang demikian kepada nabi Nuh A.S. sebagaimana firman Allah :

فقال الملأ الذين كفروا من قومه ما نراك إلا بشرا مثلنا وما نراك اتبعك إلا الذين هم أراذلنا بادي الرأي وما نرى لكم علينا من فضل بل نظنكم كاذبين

“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan ‘kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. -Q.S. (Hud) : 27-.
Sunatullah yang berlaku di antara hamba-hamba-Nya, bahwa mereka yang cepat menerima panggilan para rasul adalah orang-orang biasa, orang lemah karena mereka tidak takut kehilangan, karena mereka tidak mempunyai pangkat atau kedudukan yang ditakuti hilang. Dari itu pertentangan terus-menerus terjadi antara mereka dengan para rasul, tetapi Allah senantiasa membantu para rasul Nya dan menunjang dakwah mereka.
Begitulah sikap penduduk Mekah terhadap dakwah Nabi SAW. pembesar-pembesar dan orang-orang yang berkedudukan tidak mau mengikuti Nabi karena benci kepada beliau dan terhadap orang-orang biasa yang menjadi pengikut beliau.
b. Orang-orang Mekah bila melihat anak-anak Nabi meninggal dunia, mereka berkata, “Sebutan Muhammad akan lenyap dan dia akan mati punah”. Mereka mengira bahwa kematian itu suatu kekurangan lalu mereka mengejek Nabi dan berusaha menjauhkan manusia dari Nabi SAW.
c. Orang-orang Mekah bila melihat suatu musibah atau kesulitan yang menimpa pengikut-pengikut Nabi, mereka bergembira dan bersenang hati serta menunggu kehancuran mereka dan lenyapnya sebutan mereka, lalu kembalilah kepada mereka kedudukan mereka yang semula, yang telah diguncangkan oleh agama baru itu.
Maka pada surah itu Allah menyampaikan kepada Rasul-Nya, bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu adalah suatu purbasangka yang tidak ada artinya sama sekali. Namun semua itu adalah untuk membersihkan jiwa-jiwa yang masih dapat dipengaruhi oleh isyu-isyu tersebut dan untuk mematahkan tipu daya orang-orang musyrik, agar mereka mengetahui bahwa perjuangan Nabi SAW., pasti akan menang dan pengikut-pengikut beliau pasti akan bertambah banyak.
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memberi Nabi-Nya nikmat dan anugerah yang tidak dapat dihitung banyaknya dan tidak dapat dinilai tinggi mutunya, walaupun (orang musyrik) memandang hina dan tidak menghargai pemberian itu disebabkan kekurangan akal dan pengertian mereka. Pemberian itu berupa kenabian, agama yang benar, petunjuk-petunjuk dan jalan yang lurus yang membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ-2

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya agar mengerjakan salat dan menyembelih hewan korban karena Allah semata-mata, karena Dia sajalah yang mendidiknya dan melimpahkan karunia-Nya.
Dalam ayat lain yang sama maksudnya Allah berfirman :

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين

Katakanlah : “Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. -Q.S. (Al An’am) : 162-163-.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ -3

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus

Sesudah Allah menghibur dan menggembirakan Rasul-Nya serta memerintahkan supaya mensyukuri anugerah-anugerah-Nya dan sebagai kesempurnaan nikmat-Nya, maka Allah menjadikan musuh-musuh Nabi itu hina dan tidak percaya. Siapa saja yang membenci dan mencaci Nabi akan hilang pengaruhnya dan tidak ada kebahagiaan baginya di dunia dan di akhirat .
Adapun Nabi dan pengikut-pengikutnya sebutan dan hasil perjuangannya akan tetap jaya sampai Hari Kiamat.
Orang-orang yang mencaci Nabi, bukanlah mereka tidak senang kepada pribadi Nabi, tetapi yang mereka benci dan tidak senang adalah petunjuk dan hikmah yang dibawa beliau, karena beliau mencela kebodohan mereka dan mencaci berhala-berhala yang mereka sembah serta mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala-berhala itu.
Sungguh Allah telah menepati janji-Nya dengan menghinakan dan menjatuhkan martabat orang-orang yang mencaci Nabi, sehingga nama mereka hanya diingat ketika membicarakan orang-orang jahat dan kejahatannya.
Adapun kedudukan Nabi SAW. dan orang-orang yang menerima petunjuk beliau serta nama harum mereka diangkat setinggi-tingginya oleh Allah sepanjang masa. Ma’nahu wallohu subhaana wa ta’alaa bil a’lam. *** (Medio takbiran ‘iedul adha 1432 h ; ref. tafsir depag).



Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan ahlussunnah wal-jama’ah berpedoman kepada al-Quran dan hadits sebagai sumber utama kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas.
Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap muslim dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Pedoman ini dipetik dari firman Alloh SWT :

 يا أيها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فان تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

“Wahai orang-orang yang beriman patuhlah kalian kepada Alloh, dan patuhlah kalian kepada Rosul serta Ulil amri diantara kamu sekalian. Kemudian  jika kalian berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (An-nisa / QS : 4 ; 59).
Penjelasan Singkat :

يريد بهم أمراء المسلمين في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وبعده ، ويندرج فيهم الخلفاء والقضاة وأمراء السرية . أمر الناس بطاعتهم بعدما أمرهم بالعدل تنبيهاً على أن وجوب طاعتهم ما داموا على الحق . وقيل علماء الشرع لقوله تعالى :  وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرسول وإلى أُوْلِي الامر مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الذين يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُم

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Kholaf menyatakan bahwa, Perintah untuk taat kepada Alloh dan Rosul merupakan perintah untuk mengikuti al-Quran dan hadits.
Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid. Sebab merekalah yang menjadi Ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslim.
Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Alloh dan Rosul berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash. (Abdul Wahhab Kholaf ; ‘Ilm Ushul).
Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya.
Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidiy menjelaskan dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam ; bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah al-Quran, sebab ia datang dari Alloh swt sebagai musyarri’. Urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Alloh dalam al-Quran. Dan setelah itu ada ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Quran dan sunnah. yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash.
Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Quran dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Quran dan hadits sebagai nash (dalil utama). Wallohu a’lam. *** (Iqbal1)
Ditukil dari Kitab Sab’ah al-Kutub Mufiidah ; Ijazah kitab dari Syaikhuna KHR. Aang Ridwan, Pst. Cibeureum, Goal Para – Sukabumi.



Di antara nilai-nilai sosial ke¬manusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah). Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat saling mencintai dan menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kebahagiaan saudara adalah kebahagiaannya, dan persoalan saudara adalah persoalannya.
Al-Qur’an telah menjadikan hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar. Allah SWT berfirman yang artinya :“… Dan ingatlah akan nikmat Allah SWT kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah SWT mempersatukan hatimu, kemudian menjadikan kamu karena nikmat Allah SWT orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran / 3 : 103).

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
 وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ
 يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Terjemah Tafsir Singkat :
Dan hendaklah mereka berpegang teguh kepada Allah dan ajaran Nya dan selalu mengingat nikmat yang dianugerahkan Nya kepada mereka.
Dahulu di masa jahiliah mereka bermusuh-musuhan sehingga timbullah perang saudara yang beratus-ratus tahun lamanya, seperti perang antara kaum `Aus dan Khazraj.
Maka Allah telah mempersatukan hati mereka dengan datangnya Nabi Muhammad SAW dan mereka telah masuk ke dalam agama Islam dengan berbondong-bondong.
Allah telah mencabut dari hati mereka sifat dengki dan memadamkan dari mereka api permusuhan sehingga jadilah mereka orang-orang yang bersaudara saling cinta mencintai menuju kebahagiaan bersama.
Juga karena kemusyrikan, mereka berada di tepi jurang neraka, hanya terhalang oleh maut saja. Tetapi Allah telah menyelamatkan mereka. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat Nya, agar kaum muslimin mendapat petunjuk dengan sebaik-baiknya dan mensyukuri nikmatnya agar supaya nikmat itu terpelihara. Wallohu ‘alam. ***



Ummat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia selamanya meng-I’tiqadkan bahwa Nabi Isa Alaihissalam adalah seorang Nabi yang mulia dan salah seorang dari Nabi-nabi yang 25 yang tersebut namanya di dalam Al-Qur’an. Nabi Isa lahir luar biasa, yakni berlainan dari kebiasaan manusia. Hanya ditiupkan saja oleh Tuhan ke dalam kandungan ibu beliau, dan lantas lahir kedunia tanpa bapak.
Di dalam kalangan Islam ini tidak ganjil, karena Nabi Adam alaihissalam lahir ke dunia tanpa bapak dan tanpa ibu, sedang Nabi Isa lahir hanya tanpa bapak saja, sedang ibunya ada. Mengadakan Adam menurut akal biasa, lebih sulit dari mengadakan Isa. Tetapi Nabi Adam toh bisa ada dan sudah ada sebagai bapak manusia keseluruhannya.
Isa alaihissalam diangkat menjadi Nabi dan Rasul oleh Tuhan. Beliau dibekali dengan kitab injil oleh Tuhan dan dengan beberapa mu’jizat. Umpamanya beliau bisa menghidupkan orang yang sudah mati, dengan izin Tuhan. Pada akhir masa beliau, beliau dikejar-kejar oleh orang kafir, beliau hendak dibunuh, tetapi Tuhan Yang Maha Kuasa membebaskan beliau dari bahaya pembunuhan itu dan mengangkat beliau kepada-Nya. Menurut kepercayaan ummat Islam, Nabi Isa tidak wafat, tidak mati meninggal dunia menurut pengertian biasa.
Karena itu adalah satu kesalahan besar -dari sisi akidah- kalau dikatakan : “hari ini semua sekolah libur menghormati wafatnya Nabi Isa”. Ini bertentangan dengan kepercayaan ummat Islam, tetapi sesuai dengan kepercayaan orang Nashara, orang Kristen. Kalau terjadi pertentangan paham antara orang Islam dengan orang Kristen itu lumrah, biasa saja karena agamanya berlainan.
Tetapi sayang seribu kali sayang, dalam waktu yang akhir-akhir ini muncul seorang yang dikatakan Ulama Islam dari Kairo (Mesir) namanya Mahmud Syaltut yang berfatwa bahwa Nabi Isa itu benar-benar sudah wafat, sudah mati. Fatwa ini sama dengan fatwa ummat Kristen, yaitu meninggal disalib. Hal ini sangat menggoncangkan ummat Islam. Menjadi anomali dan seolah-olah aqidah yang benar demikian. Setidaknya dalam catatan saya. Lantas  bagaimanakah Nabi Isa tersebut. (Catatan : Posting terdahulu, Klik) :
Nabi Isa Manusia Luar Biasa
Tuhan menyatakan ini dalam Al-Qur’an, bahwa pada suatu waktu datang Malaikat kepada Siti Maryam mengabarkan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak.
Firman-Nya (Audzubillaahi minasy-syaithoo-nirrojiem) :

إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ
 اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ - 45

Artinya : “Pada ketika Malaikat berkata ; Hai Maryam !, sesungguhnya Tuhan menyampaikan berita gembira kepadamu dengan “kalimah” dari Tuhan, namanya Al-Masih Isa anak Maryam, orang besar di dunia dan di akherat, dan termasuk orang-orang yang dekat kepada Tuhan”. (Ali Imran : 45).
Menurut tafsir Khozien bahwa Malaikat yang datang membawa kabar ini adalah Malaikat Jibril Alaihissalam (Khazien ; Juz 1 ; Hal. 292). Dan ada ahli-ahli tafsir mengartikan “kalimah” itu dengan “kalimah Alloh”. Nabi Isa itu adalah “kalimah Alloh, yang berarti “jadikan”, lalu jadilah. Tetapi kedua tafsir ini pada hakekatnya sama, karena kejadian Isa dengan cara begitu adalah “kabar suka” bagi Maryam, karena beliau akan melahirkan seorang Nabi dan Rosul yang pilihan.
Tegasnya arti ayat ini adalah, bahwa Malaikat Jibril datang kepada Siti Maryam membawa kabar suka, yaitu mengabarkan bahwa ia akan diberi seorang anak laki-laki yang akan diberi nama Isa bin Maryam.
Perkataan Isa bin Maryam ditegaskan oleh Tuhan agar jangan sampai orang mengatakan bahwa Isa itu anak Tuhan, atau jangan sampai ada orang mengatakan bahwa Isa itu anak seorang laki-laki lain dengan jalan tidak halal. Tuhan tegas dalam soal ini. Isa itu anak Maryam !.
Maka setelah Siti Maryam mendengar kabar suka ini, lantas beliau menyatakan keheranannya kepada Tuhan begini :
 قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ 
Artinya : “Berkata Maryam ; Wahai Tuhanku !, Bagaimana saya bisa melahirkan anak, sedang saya belum pernah disentuh laki-laki ?”. (Ali Imran : 47).
Dalam ayat ini Siti Maryam menyatakan keheranannya, bagaimana ia bisa melahirkan anak sedang ia belum kawin. Bukan saja belum kawin, tetapi lebih tegas lagi belum pernah disentuh manusia, walaupun suami yang tidak halal.
Jibril menjawab kepada Siti Maryam :
 قَالَ كَذَلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى
47 - أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya : “Ya, begitulah keadaannya, Tuhan memperbuat apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan hendak mengadakan sesuatu maka Tuhan hanya mengatakan “Kun” (Jadilah), lalu jadi (yang dikehendaki-Nya itu)”. (Ali Imran : 47).
Pada waktu itu juga dikabarkan kepada Siti Maryam :

 48 – وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
49وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ

Artinya : “Dan Tuhan akan mengajarkan Kitab kepadanya, dan Hikmah, dan Taurat dan Injil ; dan akan diangkat menjadi Rosul kepada Bani Israil”. (Ali Imran : 48-49).
Nah begitu kisahnya pertamanya. Nabi Isa AS dilahirkan tanpa bapak, dan kemudian diangkat menjadi Rosul untuk Bani Israil. Nabi Isa Alaihissalam adalah manusia luar biasa dengan syahadah dan pengakuan di dalam Al-Qur’an sendiri. Wallohu “alam. *** (Iqbal1) -Insya Alloh Bersambung-
Referensi : Syaikhonie Almaghfirlahu KHR. Ahmad Djawari, mantan Rois Syuriyah PW NU Jawa Barat. Alumni Mut’allimien Makkatul Mukarromah. Pendiri Pesantren An-nadjah.
KH. Sirodjuddin Abbas (Alm.) ; 40 Masalah Agama ; Jilid 1, hal. 324-326.


Pembahasan tentang Isa Al-Masih AS mendapat perhatian luas, karena ia menyangkut dua agama yang besar penganutnya di seluruh dunia, yaitu agama Islam dan Kristen. Ada beberapa perbedaan pokok pandangan diantara kedua agama ini menyangkut keberadaan Isa Al-Masih AS. bagi agama Islam, secara tegas bahwa sumber keyakinan mengenai Nabi Isa AS adalah Al-Qur an Al-Karim dan bagi agama Kristen mendasarkan keyakinannya atas keterangan dari perjanjian lama dan perjanjian baru.
Bagaimana tentang Isa Al-Masih AS itu menurut sumber informasi yang bersumber dari Al-Qur an dan diyakini umat Islam, menurut sebagian besar umat Islam di dunia bahwa Nabi Isa Al-Masih AS, belum meninggal sampai sekarang, tapi beliau diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur an :

 ………. اِذْ قَالَ اللهُ يَعِيْسى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَ رَافِعُكَ

Artinya : Perhatikanlah ! Allah berfirman ” Wahai Isa, Aku akan mengambil engkau dan mengangkat engkau kepadaku dan mengangkat engkau dari kepalsuan orang kafir……. “
Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa sesungguhnya Nabi Isa AS  belum meninggal. Dan beliau akan kembali kepadamu sebelum hari kiamat”.
Ini penting  kejelasan secara tepat, karena masalah ini berkaitan secara langsung dengan penjelasan yang ditegaskan dalam al Qur’an serta hadis Nabi SAW. Dan persoalannya selalu bersentuhan dengan keyakinan lain yang bersumber bukan dari kitab – kitab dan ajaran Islam.
Dalam al-qur an di sebutkan : 
اِذْ قَالَ اللهُ يَعِيْسى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَ رَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ
 مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا  وَجَاعِلُ الَّذِيْنُ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ
 كَفَرُوْا اِلَى يَوْمِ الْقِيمَةِ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
 فِيْمَا كُنْتُمْ تَخْتَلِفُوْنَ

Terjemah : (Ingatlah), ketika Allah berfirman ; `Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya`. (Al-imron ayat 55).
Di dalam ayat ini “Mutawaffika Wa Rafiuka”  (mewafatkan dan mengangkat),  seakan Nabi Isa AS ini diwafatkan dulu kemudian diangkat. Oleh karena itu di dalam Tafsir al-Qur’an, khususnya di dalam kitab Tafsir ibnu Katsir, di sana ada beberapa pendapat ulama mengenai masalah ini, yang penting untuk dicermati.

 Pendapat & Penafsiran

Argumentasi pertama : Dari Imam Qatadah mengatakan bahwa pada ayat 55 dalam surat Ali Imran, kata-kata Mutawaffika, Wa Rafiuka, karena disitu ada kata Wa (dan) itu dikatakan dalam bahasa arab Mutlakul jam’i, mutlak yang penting sama-sama. Misalnya : Ali dan Amir pergi ke pasar. Itu bisa Ali lebih dulu atau Amir lebih dulu, atau bisa sama-sama. Dilihat dari struktur fashehat atau bilaghahnya, penggalan kata2 itu merupakan struktur yang didahulukan dan dikemudiankan. Asal penggalan itu ialah “Innie raafiuka Wa Mutawaffika’ (Sesungguhnya Aku akan mengangkatmu kepada-Ku, kemudian mewafatkanmu).  Maka menurut Imam Qatadah pengertiannya ayat di atas itu, karena lebih dulu diangkat, maka baru nanti meninggal sebelum hari kiamat.

Argumentasi Ke dua : dari Ali bin Thalhah, dari Imam Ibnu Abbas, beliau berpendapat bahwa pengertian “Mutawaffika” itu memang mati, bimakna mumituka, dengan arti mematikanmu. Imam Muhammad bin Ishak berpendapat bahwa Nabi Isa meninggal dalam tiga jam kemudian di angkat oleh Allah. Orang-orang  Nasrani waktu itu menganggap bahwa Nabi Isa AS atau yang lebih dikenal dengan Al-Masih Ibnu Maryam telah meninggal dalam tujuh jam kemudian di hidupkan kembali, makanya dalam tradisi Kristen ada yang namanya hari besar Kenaikan Isa Al-Masih. Ada yang berpendapat meninggalnya Nabi Isa itu sampai tiga hari.
Pendapat lain mengatakan ; “Diwafatkan dari dunia, namun bukan wafat yg berarti mati”. Ada juga yg berpendapat ; “Mewafatkannya berarti menaikannya”. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa kata Mutawaffika bukan meninggal seperti biasa, karena di dalam al-Qur’an ada kata seperti itu yang artinya tidur. Jadi kata-kata “Mati” ada juga pengertiannya bukan mati dalam arti lepas nyawa dari jasad untuk selamanya, tapi “tidur”  (lepas-sebentar nyawa dari badan). Yaitu : tersinyalir dalam ayat yang mengatakan :

وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّكُمْ بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيْهِ
 لِيُقْضَى اَجَلٌ مُسَمَّى ثُمَّ اِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ
 بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Terjemah : “Dan Dialah yang membuat kamu mati / menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan”. (QS. 6:60).
Note : “Dan Dialah yang membuat kamu mati (tidur) malam hari dan mengetahui apa yang kamu kerjakan siang hari….. (Al-An’am 60).
Ini bersesuaian dengan Firman Alloh dalam Surat Az-zumar 42 :

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ
 فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ
 وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
 إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Terjemah : Alloh memegang  jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda2 kekuasaan Alloh bagi kaum yang berfikir. (Q.S. 39 ; 42).
Sehingga dalam ajaran Islam kalau baru bangun dari tidur di sunnahkan untuk berdo’a seperti yang senantiasa dicontohkan Rosululoh SAW : 
 اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

“Segala puji bagi Allah, yang membangunkan kami setelah ditidurkan-Nya dan kepada-Nya kami dibangkitkan”. [HR. Al-Bukhari].
Kaum Ahmadiyah menganggap bahwa Nabi Isa itu mati biasa atau normal.
Untuk menjelaskan labih lanjut masalah ini, mari kita lihat cerita tentang kejadian yang menimpa Nabi Isa menurut versi al-Qur an. Di sebutkan dalam al-Qur an : 

وَقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَاالْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ وَمَا قَتَلُوْهُ
 وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ
 شَكٍّ مِنْهُ مَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا

Terjemah : “ ……dan karena perkataan mereka : kami telah membunuh Isa Al-Masih putera Maryam. Utusan Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pulah menyalibnya “ (An-Nisa-157).
Selanjutnya An-Nisa’ ayat 158 menentukan : “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

بَل رَّفَعَهُ اللّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًاحَكِيمًا

Quran Surat An-Nisa’ ayat 157 – 158 tersebut membantah keyakinan orang-orang Yahudi pada waktu peristiwa penyaliban Yesus tersebut, yang merasa telah berhasil membunuh Nabi Isa Al Masih Ibnu Maryam Alaihimassalam.

Dengki Orang Yahudi 

Orang-orang yahudi menganggap bahwa mereka merasa bisa membunuh Nabi Isa al-Masih. Pada waktu itu orang-orang yahudi merasa dengki terhadap Nabi Isa, karena dalam pendangan mereka, Nabi Isa tidak lebih layak di angkat menjadi Nabi. Mereka memandang Nabi Isa sebagai orang rendah karena waktu itu orang yang dianggap mulia adalah orang-orang yang dari kalangan Raja yahudi yang berpusat di Damaskus. Pendek kata, mereka hasud dan dengki kepada Nabi Isa. Dengki mereka tak terbendung dan akhirnya mereka mempunyai rencana untuk membunuh Nabi Isa.
Mulanya mereka melapor kepada Raja di Damaskus, bahwa ada seorang rakyat biasa di Palestina yang mengaku sebagai untusan Allah untuk mengajar manusia dengan ajaran yang mengesakan Allah dan berbuat kebajikan. Dalam laporannya mereka bahkan menyatakan bahwa orang dimaksud memiliki rencana untuk membunuh Raja dan merubuhkan kerajaan di Damaskus. Sungguh, ini fitnah yang keji dari mulut orang-orang yahudi.
Mendengar laporan ini, Raja Damaskus langsung mengirim pasukan untuk menangkap dan membunuh Nabi Isa. Pasukan tentara pun mengepung rumah Nabi Isa yang sedang mengajarkan agama Islam kepada murid-muridnya, yaitu yang biasa disebut dengan Kaum Hawariyin.
Di situ diceritakan ada dua belas orang murid Nabi Isa setelah melihat orang yahudi dan orang damaskus akan membunuh Nabi Isa. Nabi Isa mengatakan kepada murid-muridnya ; “Hai para muridku, siapa diantara kalian yang mau bersama saya masuk surga” kata Nabi Isa, kemudian ada seorang murid yang paling muda, namanya Sarjus. Kata Sarjus ; “Saya, ya Rasulullah bersedia bersama Anda”.  Kalau begitu, kamu duduklah di tempt duduk ku, Kata Nabi Isa.
Kebetulan Sarjus mempunyai wajahnya mirip dengan Nabi Isa AS. Ketika Sarjus akan duduk di situ, Nabi Isa diangkat oleh Allah SWT dan yang duduk itu adalah Sarjus. Begitu orang-orang Yahudi dari Damaskus datang menggerebek rumah pengajian Nabi Isa para tentara masuk dan melihat orang yang duduk di situ menempati tempat duduk Nabi Isa dan mirip wajahnya dengan Nabi Isa, maka di tangkaplah Sarjus, lalu di bunuh dg di salib.
Jadi yang di salib itu bukanlah Nabi Isa AS, menurut tafsir ini. Tapi yang wajahnya serupa dengan Nabi Isa AS. Dalam al-Qur an di ceritakan bahwa orang-orang yahudi bangga karena telah mampu membunuh Nabi Isa AS. Mereka mengatakan dengan penuh kebanggan. Kami telah berhasil membunuh Isa.

وَقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَاالْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ
 وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ

Terjemah : ……kami telah membunuh Isa Al-Masih putera Maryam, utusan Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya.  (An Nisa : 157).
“Rasulullah itu sudah kami bunuh, kata orang-orang Yahudi. Maka, orang Yahudi banyak mendapat kutukan dari Allah”. Tetapi di katakana dalam al-Qur an :
وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

Terjemah : …..padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi demikianlah ditampakkan kepada mereka (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka…… (Surat An-Nisa : 157)
Dan ayat lain juga disebutkan bahwa :
وَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِنْهُ مَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِلاَّ
 اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا

Terjemah : …. Dan sesungguhnya orang orang yang berselisih pendapat (tentang pembunuhan) Isa, benar-benar dalam tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa  yang di bunuh itu kecuali mengikuti perasangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Catatan kepahaman : Bahwa perselisihan akidah Nasrani dengan Islam merupakan perselisihan final. Bagi umat Islam, dengan tonggak sejarah ketika Nabi Muhammad medeklarasikan Piagam Madinah membentuk Pemerintahan Islam berpusat di Madinah dengan “kontrak sosial” untuk hidup bersama saling melindungi antara umat Islam, Nasrani dan Yahudi. Jadi, Nabi Muhammad pada abad ke-7 lebih dulu mempraktikkan “kontrak sosial”. Oleh karena itu, artikel ini tidak akan diperdebatkan dari sudut keimanan, dengan tetap saling menghormati.
Demikian, semoga ada manfaat dan menambah khazanah ke ilmuan kita. Amin ; Wallohu a’alam *** 

Referensi :  Syaikhonie KHR. Ahmad Ma’mun Abdul Mu’in (Allohummaghfirlahu), mantan Musytasyar PWNU Jawa-Barat dan Rois Syuriyah PC NU Kota Bandung / Khodim Ponpes An-nadjah ;  AM. Syahrir Rahman, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Sunan Giri Surabaya.
Lihat Juga Muhtasar Ibnu Katsier, Jilid 1, hal 520-523, 834-848. ; Tafsier Marrohu Labied ‘Ala Tafsier Munir, Jilid 1, hal 100-101, 183-184.


Mukjizat artinya sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu diluar kesanggupannya. Mukjizat ini hanya diberikan kepada nabi-nabi untuk menguatkan kenabian dan kerasulannya, dan bahwa agama / risalah yang dibawanya bukanlah bikinannya sendiri tetapi benar-benar dari Alloh SWT. Mukzijat tidak pernah diberikan kepada selain nabi dan atau Rosul.
Nabi besar Muhammad SAW telah diberi beberapa mukjizat oleh Alloh SWT, diantaranya israa’-mi’raj dalam satu malam sebagaimana tersebut dalam surat 17, al-isra ; ayat 1, dll.  Tetapi mukjizat yang terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Al-qur’an.
Al-qur’an menjadi suatu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang dapat disaksikan oleh seluruh umat manusia sepanjang masa, karena memang beliau diutus oleh Alloh SWT untuk keselamatan manusia di mana dan di masa apapun mereka berada. Oleh sebab Alloh SWT menjamin keselamatan Al-qur’an sepanjang masa. Firman Alloh SWT ; Audzubillaaahi minasy-syaithoonirrojiem :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya : Sesungguhnya Kamilah (lafal nahnu mentaukidkan atau mengukuhkan makna yang terdapat di dalam isimnya inna, atau sebagai fashl) yang menurunkan Adz-Dzikr/Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan).  -(Q.S : 15 ; 9 )-
Didalam memberikan definisi kepada Al-qur’an sengaja dicantumkan kata yang mempunyai mukjizat, karena inilah segi keutamaan al-qur’an dan bedanya dari kitab-kitab lain yang diturunkan kepada nabi-nabi lainnya.
Mukjizatnya disitu terletak pada fashahah dan balaghahnya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tara bandingannya. Mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengan Al-qur’an yang dapat menandinginya. Di dalam Al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang menantang setiap orang : “Kendatipun berkumpul jin dan manusia untuk membuat yang serupa dengan Al-qur’an, mereka tidak akan dapat membuatnya, seperti firman Alloh SWT  dalam Surat 17 / Al Israa’ 88 :

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ
 لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Artinya : Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat/mengatakan yang serupa Al-quran ini ; niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
Pada ayat ini Allah SWT menegaskan mukjizat Al-quran dan keutamaannya, bahwa Alquran itu benar-benar dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagai bukti bahwa Alquran itu dari Allah, bukan buatan Muhammad sebagaimana yang didakwakan oleh orang-orang kafir Mekah dan ahli kitab, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW supaya menantang manusia membuat yang seperti Alquran itu. Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka yang mengabaikan dan memandang Al-quran itu bukan wahyu Allah : “Demi Allah, seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul, lalu mereka bermufakat dan berusaha membuat seperti Alquran itu, baik ditinjau dari segi ketinggian gaya bahasanya, makna dan pelajaran serta petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya, mereka pasti tidak akan sanggup membuatnya sekalipun di antara mereka terdapat para ahli bahasa. Para ahli ilmu pengetahuan dan semua mereka itu dapat saling bantu-membantu dalam membuatnya.
Contohnya :
  1. Beberapa pemimpin Quraisy berkumpul untuk merundingkan cara-cara menundukkan Rasululloh SAW. Akhirnya mereka sepakat untuk mengutus Abu Walid, seorang sastrawan Arab yang jarang ada bandingannya, agar ia mengajukan kepada Nabi Muhammad SAW supaya meninggalkan dakwahnya. Setelah Rasululloh SAW mendengar ucapan2 Abu Walid, beliau membacakan kepadanya surat 14, Fushilat dari awal sampai akhir. Abu Walid amat tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung-menung memikirkan keindahan gaya bahasanya, kemudian langsung kembali kepada kaumnya tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Rasululloh SAW. Kaumnya yang telah lama menunggunya dengan gelisah dan tiada sabar lagi, melihat perubahan yang nyata pada mukanya. Segera bertanya : “Apa hasil yang kamu bawa dan mengapa engkau bermuram durja ?”. Abu Walid menjawab : “Aku belum pernah mendengarkan kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia adalah tingi dan tak ada yang dapat mengatasinya”. Mendengar jawaban ini mereka menuduh Abu Walid telah berkhianat terhadap agama nenek moyangnya, cenderung kepada agama Islam.
  2. Mengenai reaksi ahli syair dan sastra terhadap tantangan Al-qur’an, mereka bungkam dalam seribu bahasa, tak ada yang berani tampil ke muka, karena memang tidak sanggup dan takut akan mendapat cemoohan dan hinaan. Memang banyak diantara pemimpin2 dan ahli sastra Arab yang mencoba dan meniru Al-qur’an, bahkan kadang-kadang ada yang mendakwahkan dirinya jadi nabi, seperti Musailamah al-kadz-dzab, Thulaihah, Habalah bin Ka’ab, dll. Tetapi mereka itu semuanya menemui kegagalan, bahkan mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Sebagai contoh kata2 musailamah al-kadzab ysng dianggapnya dapat menandingi sebagian ayat-ayat Al-qur’an :
أيها الضفدع بنات ضفدعين أعلاك في الماء وأسفلك في التراب

Artinya : Hai katak (kodok) anak dari dua katak. Bersihkanlah apa-apa yang akan engkau bersihkan, bahagian atas engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.
Seorang satrawan Arab yang termasyhur, yaitu Al-Jahir telah memberikan penilaiaannya atas gubahan Musailamah ini dalam bukunya yang bernama “Al-Hayawan” sebagai berikut : Saya tidak mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut katak (kodok) dan sebagainya itu. Alangkah buruknya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Bagi sebagian orang dari kita yang umumnya tidak mengetahui dan mendalami bahasa Arab, amat sulit untuk menemukan di mana letak I’jaznya Al-qur’an, karena mengetahui ketinggian mutu sesuatu, susunan kata-kata tidak akan dapat difahami, kalau kita tidak dapat merasakan keindahan bahasa itu sendiri. Oleh sebab itu cukuplah kalau diketahui bagaimana pengaruh Al-qur’an terhadap sastrawan-sastrawan penantang Islam dan reaksi mereka terhadap tantangan-tantangan Al-qur’an sendiri, karena pengakuan musuh-musuh Islam adalah bukti yang nyata atas kebenaran I’jaznya kitab suci ini.
Al-qur’an sendirilah salah satu hakiki mukjizat yang jelas dan gamblang dari Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang berlaku sepanjang zaman.  Berfikirlah cerdas dengan dibawah bimbingan Al-qur’an. Wallohu Subhaana Wa Ta-’alaa bil A’lam *** (Iqbal1).




Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah. Di sini kita akan membicarakan fitnah Wahabi terhadap kitab-kitab para ulama dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
Pada masa dahulu ada seorang ulama Mujassimah, yaitu Ibn Baththah al-’Ukbari, penulis kitab al-Ibanah, sebuah kitab hadits yang menjadi salah satu rujukan utama akidah Wahabi. Menurut al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, Ibn Baththah pernah ketahuan menggosok nama pemilik dan perawi salinan kitab Mu’jam al-Baghawi, dan diganti dengan namanya sendiri, sehingga terkesan bahwa Ibn Baththah telah meriwayatkan kitab tersebut. Bahkan al-Hafizh Ibn Asakir juga bercerita, bahwa ia pernah diperlihatkan oleh gurunya, Abu al-Qasim al-Samarqandi, sebagian salinan Mu’jam al-Baghawi yang digosok oleh Ibn Baththah dan diperbaiki dengan diganti namanya sendiri.
Belakangan Ibn Taimiyah al-Harrani, ideolog pertama aliran Wahabi, seringkali memalsu pendapat para ulama dalam kitab-kitabnya. Misalnya ia pernah menyatakan dalam kitabnya al-Furqan Bayna al-Haqq wa al-Bathil, bahwa al-Imam Fakhruddin al-Razi ragu-ragu terhadap madzhab al-Asy’ari di akhir hayatnya dan lebih condong ke madzhab Mujassimah, yang diikuti Ibn Taimiyah. Ternyata setelah dilihat dalam kitab Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah, karya Ibn al-Qayyim, murid Ibn Taimiyah, ia telah men-tahrif pernyataan al-Razi dalam kitabnya Aqsam al-Ladzdzat.
Tradisi tahrif ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil orang-orang Wahabi.
  • Di antaranya adalah kitab al-Ibanah an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab al-Ibanah tersebut dengan al-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr.
  • Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-tahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu’man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir Ruh al-Ma’ani ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.
  • Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-tahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi Tafsir al-Zamakhsyari, namun telah berubah menjadi tafsir Wahabi.
  • Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain yang populer dengan Tafsir al-Shawi, mengalami nasib serupa. Tafsir al-Shawi yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-’Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.
  • Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali, juga tidak lepas dari tahrif mereka. Wahabi telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.
  • Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-tahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.  
Demikianlah beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahabi. Tentu saja tulisan ini tidak mengupas berbagai cara tahrif dan perusakan Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah peninggalan para ulama kita. Namun setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. Wallahu a’lam.
Penulis : KH. Idrus Ramli, Pengurus Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS) Jember.


Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).
Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat ;  Kyai Khalil – Bangkalan.
Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kyai Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kyai Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu.
Demikian cerita Al Habib ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari. (***Ref. http://www.habibluthfiyahya.net)


Tafsier Jalalain
Tafsier Al-Baidhowie
Tafsier Al-Qurthubie

Tafsier Khozien
Tafsier Samarqondie
Tafsier Ibnu Katsier
Tafsier Ath-thobary
Tafsier Fakhrurrozie
Tafsier Fi Dhilalil Qur'an
  1. Tafsier Al-Jalalain. Karya Imam Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Al-Mahalli, dan kemudian oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Suyuuthie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=207
  2. Tafsier Al-Baidhowie. Karya Imam Al-Baidhowie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=580)
  3. Tafsier Al-Qurthubi (Al-Jaami’ul Ahkamul Qur’an) ; Karya Al-Imam Abu Abdulloh Al-Qurthubie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=254 )
  4. Tafsier Khozien. Karya Imam Abu Hasan Alie Bin Muhammad Al-Khozien. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=2281)
  5. Tafsier Siroojul Munier. Karya Muhammad Bin Ahmad As-Sarbini Syamsuddin. (Klik  http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=2323)
  6. Tafsier Samarqondi (Bahrul ‘Ulum). Karya Abu Al-Laits Nashor Bin Muhammad Bin Ibrahiem As-Samarqondie (Al-Fqh Al-Hanafi), (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1531).
  7. Tafsier Ibnu Katsier (Tafsier Al-qur’anul adhiem) ; Karya Al-Hafidz Ibnu Katsier. (Klik  http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=264 )
  8. Tafsier Ath-thobarie (Jaami’ul Bayyan). Karya : Al-Imam Ibnu Jarier Ath-thobarie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=416 )
  9. Tafsier Fakhrurrozie, Tafsier Al-Kabier. Karya Imam Al-Fahrurroozie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1523)
  10. Tafsier Fie Dlilalil Qur’an. Karya : Sayyid Quthub Rohimulloh. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=571)
  11. Dll..


munir-almeshkat1
Membuka keutamaan-keutamaan, mempelajari al-qur’anul kariem dengan maksud memahami maksud-maksudnya, atau ingin mengerti pengertian-pengertiannya, tidaklah semudah mengatakannya atau dengan dapat dilakukan langsung kepada terjemahannya, tetapi mutlak mesti dilakukan dengan menguasai berbagai cabang ilmu dan pengetahuannya, diantaranya ilmu tafsier. Kalaupun hanya baru dapat membacanya, itupun sudah cukup mendatangkan pahala dan akan mendapatkan maunahnya. Jika belum mumpuni tidak perlu memaksakan mengambil pemahamannya. Sangat diperlukan berpegang kepada Al-qur’an tersebut secara ilmiah.
Untuk menghindari kesalahan pengertian tersebut, maka tafsier al-qur’anul kariem yang disusun oleh para ulama mujtahidin mutlak, dapat menjadi rujukan dan dipakai untuk maksud tersebut di atas. Sangat dikuatirkan, atau karena ketidak-sungguh-sungguhan atau kesembronoan yang mengemukakan pemahaman dari aspek terjemahan semata, atau ro’yu akan mengakibatkan jatuh ke dalam kekufuran.

tafsir-munir-syeikh-nawawi-al-bantani-al-jawi1
Disini tertampil Kitab Tafsir yang diberi nama ; “Marroohul Labied Lil Kasyfil Ma’naa Al-qur’aanul Majied” (Keranjang Yang Indah Serta Luas untuk Menyingkapkan Arti-arti Al-Qur’an Yang Agung) atau dikenal sebagai Kitab Tafsir “Marrohu Labied Tafsier An-Nawawie / Tafsier  Munier”, yaitu Kitab Tafsir lengkap Al-qur’anul Kariem yang disusun oleh Al-’alamah Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Rohimahulloh, ulama Nusantara dari Tanara Banten – P. Jawa ; yang keilmuannya diakui ulama besar Islam lainnya secara internasional. Kitab2 susunan beliau digunakan sebagai mata pelajaran di pesantren2. Beliau mendapat gelaran pada zamannya ‘Sayid Ulama Hijaz’, ‘hujatul Islam 2′ setelah Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Rohimahulloh, atau ‘Nawawi 2′ dari Al-mu’allim Imam Nawawi Rohimahulloh, mujtahid besar dalam Madhab Imam Syafi’ie.
Kitab ini biasa dipelajari oleh Santri Lanjutan di kalangan Pesantren Salafiyyah untuk mengkaji Al-Qur’anul Adhiem dari aspek Ilmu Tafsir. Keutamaan kandungan materinya cukup lengkap, Intisarinya praktis, tidak kurang meliputi bahasan dari aspek Ilmu-ilmu Alat (Balaghah, Bayyan),  Fiqih, Tauhid, Ahlak / Tashawuf, dll.  (Wallohu ‘alam)
Materi Tafsier Munir dapat di-Klik secara online di alamat ini : http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1013