Tafsir Indonesia Surat
Luqman 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Terjemah (Ma’nahu walloohu subhaana wa ta’alaa bil a’lam) : Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS.
31 : 13).
Allah
SWT memperingatkan kepada Rasulullah
SAW nasihat yang pernah diberikan kepada putranya, waktu ia memberi pelajaran
kepada putranya itu. Nasihat itu ialah : “Wahai anakku, janganlah engkau
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu
adalah kelaliman yang sangat besar”.
Mempersekutukan
Allah dikatakan kelaliman, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu
tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu -yang melimpahkan nikmat dan
karunia itu-. Dalam hal ini menyamakan Allah SWT sebagai sumber nikmat dan
karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat sesuatupun.
Dikatakan
bahwa perbuatan itu adalah kelaliman yang besar, karena yang disamakan itu
ialah Allah SWT Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua
makhluk mengabdi dan menghambakan diri kepada Nya.
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Ibnu Masud, ia berkata : tatkala turun ayat :
الذين آمنوا ولم يلبسوا
إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
Artinya
: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al An’am : 82).
Maka
timbullah keresahan di antara para sahabat Rasulullah SAW karena mereka
berpendapat bahwa amat beratlah rasanya tidak mencampur adukkan keimanan dan
kelaliman. Lalu mereka berkata kepada Rasulullah SAW : “Siapakah di antara kami
yang tidak mencampur adukkan keimanan dan kelaliman?. Maka Rasulullah SAW menjawab
: “Maksudnya bukan demikian, apakah kamu tidak mendengar perkataan Luqman :
-Hai anakku, jangan kamu memperserikatkan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah kelaliman yang besar-”.
Dari
ayat ini dipahami bahwa di antara kewajiban ayah kepada anak-anaknya ialah
memberi nasihat dan pelajaran, sehingga anak-anaknya itu dapat menempuh jalan
yang benar, dan menjauhkan mereka dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :
يا أيها الذين آمنوا قوا
أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة
Artinya
: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (Q.S. At Tahrim : 6).
Jika
diperhatikan susunan kalimat ayat ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Sayidina Luqman sangat melarang anaknya melakukan syirik. Larangan ini adalah
suatu larangan yang memang patut di sampaikan Sayidina Luqman kepada putranya
karena mengerjakan syirik itu adalah -suatu perbuatan dosa yang paling
besar-.
***
Anak adalah -senantiasa yang menghidupkan harapan-.
Sambungan hidup dari orang tuanya, cita-cita yang tidak mungkin dapat dicapai
orang tua selama hidup di dunia diharapkan anak-nya lah yang akan mencapainya.
Demikian pula kepercayaan yang dianut orang tuanya di samping budi pekerti yang
luhur sangat diharapkan agar anak-anaknya menganut dan memiliki semuanya itu di
kemudian hari.
Seakan-akan
dalam ayat ini diterangkan bahwa Sayidina Luqman telah melakukan tugas yang
sangat penting kepada anaknya. Yaitu telah menyampaikan agama yang benar dan
budi pekerti yang luhur. Cara Sayidina Luqman menyampaikan pesan itu wajib
dicontoh oleh setiap orang tua yang mengaku dirinya muslim. Semoga dari tulisan
ini ada manfaat. Wallohu a’lam *** (iqbal1).
Tafsir Indonesia Surah
Al Baqarah 260 :
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ; وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ
الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى
كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemah
(Ma’nahu walloohu subhaana wa
ta’alaa bil a’lam) : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim AS berkata, “Ya Tuhanku
perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. `Allah
SWT berfirman :`Apakah kamu belum percaya?`. Ibrahim AS menjawab :`Saya telah
percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya. `Allah SWT berfirman
:`(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung
itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap
bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan
segera. `Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2
: 260).
Ayat
ini menambahkan suatu perumpamaan lain tentang kekuasaan Allah SWT untuk
menghidupkan kembali suatu makhluk yang telah mati.
Kalau
pada ayat 258 dikemukakan peristiwa dialog antara Nabi Ibrahim AS dan raja
Namrud, maka pada ayat ini diceritakan dialog antara Nabi Ibrahim AS dan Tuhannya.
Dengan
penuh rasa kerendahan dan kehambaan kepada Allah SWT, Ibrahim AS,
mengajukan permohonan kepada-Nya agar Dia bermurah hati untuk
memperlihatkan kepadanya bagaimana cara Allah SWT menghidupkan makhluk yang
telah mati.
Jika
diperhatikan hanya sepintas lalu, maka permohonan Nabi Ibrahim AS ini
memberikan kesan, bahwa ia sendiri seolah-olah masih mempunyai keragu-raguan
tentang kekuasaan Allah Ta’ala menghidupkan kembali orang yang telah mati.
Sebab itu Allah Ta’ala berfirman kepadanya : “Apakah engkau masih belum
percaya bahwa Aku dapat menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati?”.
Akan tetapi yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah demikian, sebab Nabi
Ibrahim AS sama sekali tidak mempunyai keraguan tentang kekuasaan Allah Ta’ala.
Beliau
mengajukan permohonan itu kepada Allah SWT bukan karena keragu-raguan melainkan
karena ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana caranya Allah SWT
menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati.
Maka
Ibrahim AS menjawab : “Aku sedikit pun tidak meragukan kekuasaan Allah
Ta’ala, akan tetapi aku mengajukan permohonan itu adalah untuk sampai kepada
derajat -ainulyaqin-, yaitu keyakinan yang diperoleh setelah menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri, sehingga hatiku menjadi lebih tenteram, dan
keyakinanku menjadi lebih kuat dan kokoh.”.
Allah
Ta’ala mengabulkan permohonan itu. Lalu diperintahkan-Nya agar Ibrahim AS
mengambil empat ekor burung kemudian menjinakkannya sehingga mereka akan datang
kepadanya bila dipanggil. Kemudian Allah SWT menyuruh Ibrahim AS untuk
meletakkan masing-masing burung itu di atas bukit tertentu yang berjauhan
letaknya satu dengan yang lain.
Sesudah
itu Ibrahim AS diperintankan-Nya untuk memanggil burung-burung tersebut. Dengan
suatu panggilan saja, burung burung akan datang kepadanya dengan patuh dan
taat.
***
Demikian
pulalah halnya umat manusia di hari akhirat nanti. Apabila Allah SWT memanggil
mereka dengan suatu panggilan saja, maka bangkitlah makhluk itu dan datang
kepadanya serentak, dengan taat dan patuh kepada-Nya.
Pendapat
lain mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS diperintahkan Allah Ta’ala untuk
memotong-motong tubuh burung-burung itu, kemudian meletakkan bagian-bagian
tubuh burung tersebut pada bukit yang saling berjauhan letaknya. Akhirnya
Ibrahim AS diperintahkan untuk memanggil burung-burung yang telah
dipotong-potong sedemikian rupa itu. Namun ternyata burung-burung itu datang
kepadanya dalam keadaan utuh seperti semula.
Tentu
saja Allah Ta’ala mengembalikan burung-burung itu lebih dahulu kepada keadaan
semula, sehingga dapat datang memenuhi panggilan Ibrahim AS.
Dengan
ini dapatlah dipenuhi permohonan Ibrahim AS kepada Allah SWT untuk
memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah Ta’ala menghidupkan kembali makhluk
yang telah mati, sehingga hatinya merasa tenteram dan keyakinannya semakin
kokoh.
Pada
akhir ayat ini Allah SWT memperingatkan kepada Ibrahim AS dan kepada
manusia semuanya, agar mereka meyakini benar-benar, bahwa Allah sungguh Maha
Kuasa dan Maha Bijaksana. Artinya kuasa dalam segala hal, termasuk menghidupkan
kembali makhluk yang telah mati dan Ia Maha Bijaksana terutama dalam memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada hamba-Nya, menuju jalan yang lurus dan benar.
Semoga
bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya oleh kita sekalian, Amin. Wallohu a’lam
*** (iqbal1).
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ
عَزِيزٌعَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ
رَّحِيمٌ
Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS : 9 : 128).
Ayat
ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga
ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Semula
ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-quran
mula-mula disampaikan, karena Al-quran itu dalam bahasa Arab. Tentulah orang
Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian ayat-ayat Al-quran
itu. Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain
bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan
Al-quran, tentu orang-orang selain orang Arab lebih sukar mempercayainya.
Ayat
ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab sebagaimana bunyinya : Hai
orang-orang Arab, telah diutus seorang rasul dari bangsamu sendiri yang kamu
mengetahui sepenuhnya asal-usul kepribadiannya. Kamu lebih mengetahuinya dari
orang-orang lain.
Sebagian
mufassirin menafsirkan perkataan “rasulun min anfusikum” dengan hadis :
قال صلى الله عليه وسلم : إن الله اصطفى كنانة من
ولد إسماعيل واصطفى قريشا من كنانة واصطفى بني هاشم من قريش واصطفاني من بني هاشم
Artinya
: Bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari
keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani
Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim.” (H.R.
Muslim dan Tirmizi dari Wasilah bin Asqa’).
Dari
ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad
SAW yang berasal dari suku-suku pilihan dari suku-suku bangsa Arab. Dan
orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini. Nabi Muhammad SAW berasal
dari keturunan orang-orang yang baik dan terhormat. Mempunyai sifat-sifat yang
tinggi dan agung pula, yaitu :
1.
Dia merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diingini,
seperti ditimpa kehinaan karena dikuasai dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum
muslimin. Sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang
pedih di akhirat nanti.
2.
Sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat
imannya dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh
Allah SWT dalam firman-Nya :
إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Artinya
: Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya
Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali
mereka tiada mempunyai penolong. (Q.S. An Nahl: 37).
Dan
Allah berfirman :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
Artinya
: Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat
menginginkannya. (Q.S. Yusuf: 103).
3.
Sangat belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum muslimin. Keinginannya ini
tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup
berbahagia di dunia dan di akhirat nanti. Dalam ayat ini Allah memberikan dua
macam sifat kepada Nabi Muhammad saw. yang kedua sifat itu merupakan sifat-Nya
sendiri, termasuk di antara “asmaulhusna”, yaitu sifat “rauf” (amat
belas kasihan) dan sifat “rahim” (penyayang) sebagai tersebut dalam
firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya
: Sesungguhnya Allah benar-benar amat Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 143).
Pemberian
kedua sifat ini kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa Allah SWT menjadikan
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang dimuliakan-Nya.
***
Ref.
Tafsir Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 128 :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ
(Sesungguhnya
telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri) dari
kalangan kalian sendiri, yaitu Nabi Muhammad SAW. (berat terasa) dirasa berat
(olehnya apa yang kalian derita) yaitu penderitaan kalian, yang dimaksud ialah
penderitaan dan musibah yang menimpa diri kalian (sangat menginginkan bagi kalian)
hidayah dan keselamatan (lagi terhadap orang-orang mukmin amat belas kasihan)
sangat belas kasihan (lagi penyayang) ia selalu mengharapkan kebaikan bagi
mereka.
***
Dan
tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam
(Al-Anbiya : 107). Wallohu Subhaana Wa Ta’alaa Bil A’lam *** (Iqbal1)
Tafsir Q.S. 108 : 1-3 (Al-Kautsar)
بِسْمِ اللهِ الرّ خْمنِ الرّ حِيْمِ
1-إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak
Orang-orang
musyrik di Mekah dan Orang-orang munafik di Madinah mencemoohkan dan
mencaci-maki Nabi sebagai berikut :
a.
Pengikut-pengikut Muhammad terdiri dari orang-orang biasa yang tidak mempunyai
kedudukan, kalau agama yang dibawanya itu benar tentu yang menjadi pengikutnya
pengikut-pengikutnya orang-orang mulia yang berkedudukan di antara mereka.
Ucapan ini bukanlah suatu keanehan, karena kaum Nuh juga dahulu kala telah
menyatakan yang demikian kepada nabi Nuh A.S. sebagaimana firman Allah :
فقال الملأ الذين كفروا من قومه ما نراك إلا بشرا
مثلنا وما نراك اتبعك إلا الذين هم أراذلنا بادي الرأي وما نرى لكم علينا من فضل
بل نظنكم كاذبين
“Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnnya: “Kami tidak melihat
kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di
antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan ‘kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta”. -Q.S. (Hud) : 27-.
Sunatullah
yang berlaku di antara hamba-hamba-Nya, bahwa mereka yang cepat menerima
panggilan para rasul adalah orang-orang biasa, orang lemah karena mereka tidak
takut kehilangan, karena mereka tidak mempunyai pangkat atau kedudukan yang
ditakuti hilang. Dari itu pertentangan terus-menerus terjadi antara mereka
dengan para rasul, tetapi Allah senantiasa membantu para rasul Nya dan
menunjang dakwah mereka.
Begitulah
sikap penduduk Mekah terhadap dakwah Nabi SAW. pembesar-pembesar dan
orang-orang yang berkedudukan tidak mau mengikuti Nabi karena benci kepada
beliau dan terhadap orang-orang biasa yang menjadi pengikut beliau.
b.
Orang-orang Mekah bila melihat anak-anak Nabi meninggal dunia, mereka berkata,
“Sebutan Muhammad akan lenyap dan dia akan mati punah”. Mereka mengira bahwa
kematian itu suatu kekurangan lalu mereka mengejek Nabi dan berusaha menjauhkan
manusia dari Nabi SAW.
c.
Orang-orang Mekah bila melihat suatu musibah atau kesulitan yang menimpa
pengikut-pengikut Nabi, mereka bergembira dan bersenang hati serta menunggu
kehancuran mereka dan lenyapnya sebutan mereka, lalu kembalilah kepada mereka
kedudukan mereka yang semula, yang telah diguncangkan oleh agama baru itu.
Maka
pada surah itu Allah menyampaikan kepada Rasul-Nya, bahwa tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu adalah suatu purbasangka yang tidak
ada artinya sama sekali. Namun semua itu adalah untuk membersihkan jiwa-jiwa
yang masih dapat dipengaruhi oleh isyu-isyu tersebut dan untuk mematahkan tipu
daya orang-orang musyrik, agar mereka mengetahui bahwa perjuangan Nabi SAW.,
pasti akan menang dan pengikut-pengikut beliau pasti akan bertambah banyak.
Dalam
ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memberi Nabi-Nya nikmat dan anugerah
yang tidak dapat dihitung banyaknya dan tidak dapat dinilai tinggi mutunya,
walaupun (orang musyrik) memandang hina dan tidak menghargai pemberian itu
disebabkan kekurangan akal dan pengertian mereka. Pemberian itu berupa
kenabian, agama yang benar, petunjuk-petunjuk dan jalan yang lurus yang membawa
kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ-2
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya agar mengerjakan salat
dan menyembelih hewan korban karena Allah semata-mata, karena Dia sajalah yang
mendidiknya dan melimpahkan karunia-Nya.
Dalam ayat lain yang sama maksudnya Allah berfirman :
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين
لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين
Katakanlah : “Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah. Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)”. -Q.S. (Al An’am) : 162-163-.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ -3
Sesungguhnya
orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus
Sesudah
Allah menghibur dan menggembirakan Rasul-Nya serta memerintahkan supaya
mensyukuri anugerah-anugerah-Nya dan sebagai kesempurnaan nikmat-Nya, maka
Allah menjadikan musuh-musuh Nabi itu hina dan tidak percaya. Siapa saja yang
membenci dan mencaci Nabi akan hilang pengaruhnya dan tidak ada kebahagiaan
baginya di dunia dan di akhirat .
Adapun
Nabi dan pengikut-pengikutnya sebutan dan hasil perjuangannya akan tetap jaya
sampai Hari Kiamat.
Orang-orang
yang mencaci Nabi, bukanlah mereka tidak senang kepada pribadi Nabi, tetapi
yang mereka benci dan tidak senang adalah petunjuk dan hikmah yang dibawa
beliau, karena beliau mencela kebodohan mereka dan mencaci berhala-berhala yang
mereka sembah serta mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan
berhala-berhala itu.
Sungguh
Allah telah menepati janji-Nya dengan menghinakan dan menjatuhkan martabat
orang-orang yang mencaci Nabi, sehingga nama mereka hanya diingat ketika
membicarakan orang-orang jahat dan kejahatannya.
Adapun
kedudukan Nabi SAW. dan orang-orang yang menerima petunjuk beliau serta nama
harum mereka diangkat setinggi-tingginya oleh Allah sepanjang masa. Ma’nahu
wallohu subhaana wa ta’alaa bil a’lam. *** (Medio takbiran ‘iedul adha 1432 h ;
ref. tafsir depag).
Dalam
menyelesaikan persoalan hukum, golongan
ahlussunnah wal-jama’ah berpedoman kepada al-Quran dan hadits sebagai sumber
utama kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas.
Empat
dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap muslim dalam mengambil sebuah
keputusan hukum. Pedoman ini dipetik dari firman Alloh SWT :
يا أيها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي
الأمر منكم فان تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله
واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Wahai
orang-orang yang beriman patuhlah kalian kepada Alloh, dan patuhlah kalian
kepada Rosul serta Ulil amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika kalian
berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Alloh dan Rosul-Nya,
jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian ini
lebih utama dan lebih baik akibatnya. (An-nisa / QS : 4 ; 59).
Penjelasan
Singkat :
يريد بهم أمراء المسلمين في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم
وبعده ، ويندرج فيهم الخلفاء والقضاة وأمراء السرية . أمر الناس بطاعتهم بعدما
أمرهم بالعدل تنبيهاً على أن وجوب طاعتهم ما داموا على الحق . وقيل علماء الشرع
لقوله تعالى : وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرسول وإلى أُوْلِي الامر مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الذين يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُم
Menjelaskan
ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Kholaf menyatakan bahwa, Perintah untuk
taat kepada Alloh dan Rosul merupakan perintah untuk mengikuti al-Quran dan
hadits.
Sedangkan
perintah untuk mengikuti Ulil amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum
yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid. Sebab merekalah yang menjadi
Ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslim.
Dan
perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada
Alloh dan Rosul berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil
nash. (Abdul Wahhab Kholaf ; ‘Ilm Ushul).
Ketika
memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan.
Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya.
Imam
Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidiy
menjelaskan dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam ; bahwa yang asal dalam
dalil syar’i adalah al-Quran, sebab ia datang dari Alloh swt sebagai musyarri’.
Urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan
hukum Alloh dalam al-Quran. Dan setelah itu ada ijma’ selalu berpijak pada
dalil al-Quran dan sunnah. yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas
selalu berpedoman pada nash.
Dari
sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada
al-Quran dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk
menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Quran dan
hadits sebagai nash (dalil utama). Wallohu a’lam. *** (Iqbal1)
Ditukil
dari Kitab Sab’ah al-Kutub Mufiidah ; Ijazah kitab dari Syaikhuna KHR.
Aang Ridwan, Pst. Cibeureum, Goal Para – Sukabumi.
Di
antara nilai-nilai sosial ke¬manusiaan
yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah). Bahwa hendaknya
manusia hidup di masyarakat saling mencintai dan menolong dan diikat oleh
perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai,
saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kebahagiaan saudara adalah
kebahagiaannya, dan persoalan saudara adalah persoalannya.
Al-Qur’an
telah menjadikan hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar. Allah SWT
berfirman yang artinya :“… Dan ingatlah akan nikmat Allah SWT kepadamu
ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah SWT
mempersatukan hatimu, kemudian menjadikan kamu karena nikmat Allah SWT
orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran / 3 : 103).
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ
النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
Terjemah
Tafsir Singkat :
Dan
hendaklah mereka berpegang teguh kepada Allah dan ajaran Nya dan selalu
mengingat nikmat yang dianugerahkan Nya kepada mereka.
Dahulu
di masa jahiliah mereka bermusuh-musuhan sehingga timbullah perang saudara yang
beratus-ratus tahun lamanya, seperti perang antara kaum `Aus dan Khazraj.
Maka
Allah telah mempersatukan hati mereka dengan datangnya Nabi Muhammad SAW
dan mereka telah masuk ke dalam agama Islam dengan berbondong-bondong.
Allah
telah mencabut dari hati mereka sifat dengki dan memadamkan dari mereka api
permusuhan sehingga jadilah mereka orang-orang yang bersaudara saling cinta
mencintai menuju kebahagiaan bersama.
Juga
karena kemusyrikan, mereka berada di tepi jurang neraka, hanya terhalang oleh
maut saja. Tetapi Allah telah menyelamatkan mereka. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat Nya, agar kaum muslimin mendapat petunjuk dengan
sebaik-baiknya dan mensyukuri nikmatnya agar supaya nikmat itu terpelihara.
Wallohu ‘alam. ***
Ummat
Islam di seluruh dunia, khususnya di
Indonesia selamanya meng-I’tiqadkan bahwa Nabi Isa Alaihissalam adalah seorang
Nabi yang mulia dan salah seorang dari Nabi-nabi yang 25 yang tersebut namanya
di dalam Al-Qur’an. Nabi Isa lahir luar biasa, yakni berlainan dari kebiasaan
manusia. Hanya ditiupkan saja oleh Tuhan ke dalam kandungan ibu beliau, dan
lantas lahir kedunia tanpa bapak.
Di
dalam kalangan Islam ini tidak ganjil, karena Nabi Adam alaihissalam lahir ke
dunia tanpa bapak dan tanpa ibu, sedang Nabi Isa lahir hanya tanpa bapak saja,
sedang ibunya ada. Mengadakan Adam menurut akal biasa, lebih sulit dari
mengadakan Isa. Tetapi Nabi Adam toh bisa ada dan sudah ada sebagai bapak
manusia keseluruhannya.
Isa
alaihissalam diangkat menjadi Nabi dan Rasul oleh Tuhan. Beliau dibekali dengan
kitab injil oleh Tuhan dan dengan beberapa mu’jizat. Umpamanya beliau bisa
menghidupkan orang yang sudah mati, dengan izin Tuhan. Pada akhir masa beliau,
beliau dikejar-kejar oleh orang kafir, beliau hendak dibunuh, tetapi Tuhan Yang
Maha Kuasa membebaskan beliau dari bahaya pembunuhan itu dan mengangkat beliau
kepada-Nya. Menurut kepercayaan ummat Islam, Nabi Isa tidak wafat, tidak mati
meninggal dunia menurut pengertian biasa.
Karena
itu adalah satu kesalahan besar -dari sisi akidah- kalau dikatakan
: “hari ini semua sekolah libur menghormati wafatnya Nabi Isa”. Ini
bertentangan dengan kepercayaan ummat Islam, tetapi sesuai dengan kepercayaan
orang Nashara, orang Kristen. Kalau terjadi pertentangan paham antara orang
Islam dengan orang Kristen itu lumrah, biasa saja karena agamanya berlainan.
Tetapi
sayang seribu kali sayang, dalam waktu yang akhir-akhir ini muncul seorang yang
dikatakan Ulama Islam dari Kairo (Mesir) namanya Mahmud Syaltut yang berfatwa
bahwa Nabi Isa itu benar-benar sudah wafat, sudah mati. Fatwa ini sama dengan
fatwa ummat Kristen, yaitu meninggal disalib. Hal ini sangat menggoncangkan
ummat Islam. Menjadi anomali dan seolah-olah aqidah yang benar demikian.
Setidaknya dalam catatan saya. Lantas bagaimanakah Nabi Isa tersebut. (Catatan : Posting terdahulu, Klik) :
Nabi
Isa Manusia Luar Biasa
Tuhan
menyatakan ini dalam Al-Qur’an, bahwa pada suatu waktu datang Malaikat kepada
Siti Maryam mengabarkan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak.
Firman-Nya
(Audzubillaahi minasy-syaithoo-nirrojiem) :
إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ
اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ
اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
وَجِيهًا
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ
الْمُقَرَّبِينَ - 45
Artinya
: “Pada ketika Malaikat berkata ; Hai Maryam !, sesungguhnya Tuhan menyampaikan
berita gembira kepadamu dengan “kalimah” dari Tuhan, namanya Al-Masih Isa anak
Maryam, orang besar di dunia dan di akherat, dan termasuk orang-orang yang
dekat kepada Tuhan”. (Ali Imran : 45).
Menurut
tafsir Khozien bahwa Malaikat yang datang membawa kabar ini adalah Malaikat
Jibril Alaihissalam (Khazien ; Juz 1 ; Hal. 292). Dan ada ahli-ahli tafsir
mengartikan “kalimah” itu dengan “kalimah Alloh”. Nabi Isa itu adalah “kalimah
Alloh, yang berarti “jadikan”, lalu jadilah. Tetapi kedua tafsir ini pada
hakekatnya sama, karena kejadian Isa dengan cara begitu adalah “kabar suka”
bagi Maryam, karena beliau akan melahirkan seorang Nabi dan Rosul yang pilihan.
Tegasnya
arti ayat ini adalah, bahwa Malaikat Jibril datang kepada Siti Maryam membawa
kabar suka, yaitu mengabarkan bahwa ia akan diberi seorang anak laki-laki yang
akan diberi nama Isa bin Maryam.
Perkataan
Isa bin Maryam ditegaskan oleh Tuhan agar jangan sampai orang mengatakan bahwa
Isa itu anak Tuhan, atau jangan sampai ada orang mengatakan bahwa Isa itu anak
seorang laki-laki lain dengan jalan tidak halal. Tuhan tegas dalam soal ini.
Isa itu anak Maryam !.
Maka
setelah Siti Maryam mendengar kabar suka ini, lantas beliau menyatakan
keheranannya kepada Tuhan begini :
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ
لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
Artinya
: “Berkata Maryam ; Wahai Tuhanku !, Bagaimana saya bisa melahirkan anak,
sedang saya belum pernah disentuh laki-laki ?”. (Ali Imran : 47).
Dalam
ayat ini Siti Maryam menyatakan keheranannya, bagaimana ia bisa melahirkan anak
sedang ia belum kawin. Bukan saja belum kawin, tetapi lebih tegas lagi belum
pernah disentuh manusia, walaupun suami yang tidak halal.
Jibril
menjawab kepada Siti Maryam :
قَالَ كَذَلِكِ اللَّهُ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى
47 - أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ
فَيَكُونُ
Artinya
: “Ya, begitulah keadaannya, Tuhan memperbuat apa yang dikehendaki-Nya. Apabila
Tuhan hendak mengadakan sesuatu maka Tuhan hanya mengatakan “Kun” (Jadilah),
lalu jadi (yang dikehendaki-Nya itu)”. (Ali Imran : 47).
Pada
waktu itu juga dikabarkan kepada Siti Maryam :
48 – وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
49
- وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ
Artinya
: “Dan Tuhan akan mengajarkan Kitab kepadanya, dan Hikmah, dan Taurat dan Injil
; dan akan diangkat menjadi Rosul kepada Bani Israil”. (Ali Imran : 48-49).
Nah
begitu kisahnya pertamanya. Nabi Isa AS dilahirkan tanpa bapak, dan kemudian
diangkat menjadi Rosul untuk Bani Israil. Nabi Isa Alaihissalam adalah manusia
luar biasa dengan syahadah dan pengakuan di dalam Al-Qur’an sendiri. Wallohu
“alam. *** (Iqbal1) -Insya Alloh Bersambung-
Referensi
: Syaikhonie Almaghfirlahu KHR. Ahmad Djawari, mantan Rois Syuriyah PW NU Jawa
Barat. Alumni Mut’allimien Makkatul Mukarromah. Pendiri Pesantren An-nadjah.
KH.
Sirodjuddin Abbas (Alm.) ; 40 Masalah Agama ; Jilid 1, hal. 324-326.
Pembahasan tentang Isa Al-Masih AS mendapat perhatian luas, karena ia
menyangkut dua agama yang besar penganutnya di seluruh dunia, yaitu agama Islam
dan Kristen. Ada beberapa perbedaan pokok pandangan diantara kedua agama ini
menyangkut keberadaan Isa Al-Masih AS. bagi agama Islam, secara tegas bahwa
sumber keyakinan mengenai Nabi Isa AS adalah Al-Qur an Al-Karim dan bagi agama
Kristen mendasarkan keyakinannya atas keterangan dari perjanjian lama dan
perjanjian baru.
Bagaimana
tentang Isa Al-Masih AS itu menurut sumber informasi yang bersumber dari Al-Qur
an dan diyakini umat Islam, menurut sebagian besar umat Islam di dunia bahwa
Nabi Isa Al-Masih AS, belum meninggal sampai sekarang, tapi beliau diangkat
oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur an :
………. اِذْ قَالَ اللهُ يَعِيْسى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَ رَافِعُكَ
Artinya
: Perhatikanlah ! Allah berfirman ” Wahai Isa, Aku akan mengambil engkau dan
mengangkat engkau kepadaku dan mengangkat engkau dari kepalsuan orang kafir…….
“
Rasulullah
SAW bersabda : “Bahwa sesungguhnya Nabi Isa AS belum meninggal. Dan
beliau akan kembali kepadamu sebelum hari kiamat”.
Ini
penting kejelasan secara tepat, karena masalah ini berkaitan secara
langsung dengan penjelasan yang ditegaskan dalam al Qur’an serta hadis Nabi
SAW. Dan persoalannya selalu bersentuhan dengan keyakinan lain yang bersumber
bukan dari kitab – kitab dan ajaran Islam.
Dalam al-qur an di
sebutkan :
اِذْ قَالَ اللهُ يَعِيْسى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَ رَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ
مِنَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا وَجَاعِلُ الَّذِيْنُ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا اِلَى يَوْمِ
الْقِيمَةِ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَاَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
فِيْمَا كُنْتُمْ تَخْتَلِفُوْنَ
Terjemah
: (Ingatlah), ketika Allah berfirman ; `Hai Isa, sesungguhnya Aku akan
menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang
mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian
hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal
yang selalu kamu berselisih padanya`. (Al-imron ayat 55).
Di
dalam ayat ini “Mutawaffika Wa Rafiuka” (mewafatkan dan
mengangkat), seakan Nabi Isa AS ini diwafatkan dulu kemudian
diangkat. Oleh karena itu di dalam Tafsir al-Qur’an, khususnya di dalam kitab
Tafsir ibnu Katsir, di sana ada beberapa pendapat ulama mengenai masalah ini,
yang penting untuk dicermati.
Pendapat & Penafsiran
Argumentasi
pertama : Dari Imam Qatadah mengatakan
bahwa pada ayat 55 dalam surat Ali Imran, kata-kata Mutawaffika, Wa
Rafiuka, karena disitu ada kata Wa (dan) itu dikatakan
dalam bahasa arab Mutlakul jam’i, mutlak yang penting sama-sama.
Misalnya : Ali dan Amir pergi ke pasar. Itu bisa Ali lebih dulu atau Amir lebih
dulu, atau bisa sama-sama. Dilihat dari struktur fashehat atau bilaghahnya,
penggalan kata2 itu merupakan struktur yang didahulukan dan dikemudiankan. Asal
penggalan itu ialah “Innie raafiuka Wa Mutawaffika’ (Sesungguhnya Aku
akan mengangkatmu kepada-Ku, kemudian mewafatkanmu). Maka
menurut Imam Qatadah pengertiannya ayat di atas itu, karena lebih dulu
diangkat, maka baru nanti meninggal sebelum hari kiamat.
Argumentasi
Ke dua : dari Ali bin Thalhah, dari Imam
Ibnu Abbas, beliau berpendapat bahwa pengertian “Mutawaffika” itu
memang mati, bimakna mumituka, dengan arti mematikanmu. Imam Muhammad
bin Ishak berpendapat bahwa Nabi Isa meninggal dalam tiga jam kemudian di
angkat oleh Allah. Orang-orang Nasrani waktu itu menganggap bahwa Nabi
Isa AS atau yang lebih dikenal dengan Al-Masih Ibnu Maryam telah
meninggal dalam tujuh jam kemudian di hidupkan kembali, makanya dalam tradisi
Kristen ada yang namanya hari besar Kenaikan Isa Al-Masih. Ada yang berpendapat
meninggalnya Nabi Isa itu sampai tiga hari.
Pendapat
lain mengatakan ; “Diwafatkan dari dunia, namun bukan wafat yg berarti mati”.
Ada juga yg berpendapat ; “Mewafatkannya berarti menaikannya”. Mayoritas Ulama
berpendapat bahwa kata “Mutawaffika” bukan meninggal seperti
biasa, karena di dalam al-Qur’an ada kata seperti itu yang artinya tidur. Jadi
kata-kata “Mati” ada juga pengertiannya bukan mati dalam arti lepas nyawa dari
jasad untuk selamanya, tapi “tidur” (lepas-sebentar nyawa dari badan).
Yaitu : tersinyalir dalam ayat yang mengatakan :
وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّكُمْ بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ
يَبْعَثُكُمْ فِيْهِ
لِيُقْضَى اَجَلٌ مُسَمَّى ثُمَّ اِلَيْهِ
مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Terjemah
: “Dan Dialah yang membuat kamu mati / menidurkan kamu di malam hari dan Dia
mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan
kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan,
kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa
yang dahulu kamu kerjakan”. (QS. 6:60).
Note
: “Dan Dialah yang membuat kamu mati
(tidur) malam hari dan mengetahui apa yang kamu kerjakan siang hari…..
(Al-An’am 60).
Ini
bersesuaian dengan Firman Alloh dalam Surat Az-zumar 42 :
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا
وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ
فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى
عَلَيْهَا الْمَوْتَ
وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Terjemah
: Alloh memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang
ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda2 kekuasaan Alloh
bagi kaum yang berfikir. (Q.S. 39 ; 42).
Sehingga
dalam ajaran Islam kalau baru bangun dari tidur di sunnahkan untuk berdo’a
seperti yang senantiasa dicontohkan Rosululoh SAW :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ
أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ
“Segala
puji bagi Allah, yang membangunkan kami setelah ditidurkan-Nya dan kepada-Nya
kami dibangkitkan”. [HR. Al-Bukhari].
Kaum
Ahmadiyah menganggap bahwa Nabi Isa itu mati biasa atau normal.
Untuk
menjelaskan labih lanjut masalah ini, mari kita lihat cerita tentang kejadian
yang menimpa Nabi Isa menurut versi al-Qur an. Di sebutkan dalam al-Qur an
:
وَقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَاالْمَسِيْحَ عِيْسَى
ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ وَمَا قَتَلُوْهُ
وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ
وَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ
شَكٍّ مِنْهُ مَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِلاَّ
اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا
Terjemah :
“ ……dan karena perkataan mereka : kami telah membunuh Isa Al-Masih putera
Maryam. Utusan Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pulah
menyalibnya “ (An-Nisa-157).
Selanjutnya
An-Nisa’ ayat 158 menentukan : “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah
mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
بَل رَّفَعَهُ اللّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللّهُ
عَزِيزًاحَكِيمًا
Quran
Surat An-Nisa’ ayat 157 – 158 tersebut membantah keyakinan orang-orang Yahudi
pada waktu peristiwa penyaliban Yesus tersebut, yang merasa telah berhasil
membunuh Nabi Isa Al Masih Ibnu Maryam Alaihimassalam.
Dengki Orang Yahudi
Orang-orang
yahudi menganggap bahwa mereka merasa bisa membunuh Nabi Isa al-Masih. Pada
waktu itu orang-orang yahudi merasa dengki terhadap Nabi Isa, karena dalam
pendangan mereka, Nabi Isa tidak lebih layak di angkat menjadi Nabi. Mereka
memandang Nabi Isa sebagai orang rendah karena waktu itu orang yang dianggap
mulia adalah orang-orang yang dari kalangan Raja yahudi yang berpusat di
Damaskus. Pendek kata, mereka hasud dan dengki kepada Nabi Isa. Dengki mereka
tak terbendung dan akhirnya mereka mempunyai rencana untuk membunuh Nabi Isa.
Mulanya
mereka melapor kepada Raja di Damaskus, bahwa ada seorang rakyat biasa di
Palestina yang mengaku sebagai untusan Allah untuk mengajar manusia dengan
ajaran yang mengesakan Allah dan berbuat kebajikan. Dalam laporannya mereka
bahkan menyatakan bahwa orang dimaksud memiliki rencana untuk membunuh Raja dan
merubuhkan kerajaan di Damaskus. Sungguh, ini fitnah yang keji dari mulut
orang-orang yahudi.
Mendengar
laporan ini, Raja Damaskus langsung mengirim pasukan untuk menangkap dan
membunuh Nabi Isa. Pasukan tentara pun mengepung rumah Nabi Isa yang sedang
mengajarkan agama Islam kepada murid-muridnya, yaitu yang biasa disebut dengan
Kaum Hawariyin.
Di
situ diceritakan ada dua belas orang murid Nabi Isa setelah melihat orang
yahudi dan orang damaskus akan membunuh Nabi Isa. Nabi Isa mengatakan kepada
murid-muridnya ; “Hai para muridku, siapa diantara kalian yang mau bersama saya
masuk surga” kata Nabi Isa, kemudian ada seorang murid yang paling muda,
namanya Sarjus. Kata Sarjus ; “Saya, ya Rasulullah bersedia bersama Anda”.
Kalau begitu, kamu duduklah di tempt duduk ku, Kata Nabi Isa.
Kebetulan
Sarjus mempunyai wajahnya mirip dengan Nabi Isa AS. Ketika Sarjus akan duduk di
situ, Nabi Isa diangkat oleh Allah SWT dan yang duduk itu adalah Sarjus. Begitu
orang-orang Yahudi dari Damaskus datang menggerebek rumah pengajian Nabi Isa
para tentara masuk dan melihat orang yang duduk di situ menempati tempat duduk
Nabi Isa dan mirip wajahnya dengan Nabi Isa, maka di tangkaplah Sarjus, lalu di
bunuh dg di salib.
Jadi
yang di salib itu bukanlah Nabi Isa AS, menurut tafsir ini. Tapi yang wajahnya
serupa dengan Nabi Isa AS. Dalam al-Qur an di ceritakan bahwa orang-orang
yahudi bangga karena telah mampu membunuh Nabi Isa AS. Mereka mengatakan dengan
penuh kebanggan. Kami telah berhasil membunuh Isa.
وَقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَاالْمَسِيْحَ عِيْسَى
ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ
وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ
Terjemah :
……kami telah membunuh Isa Al-Masih putera Maryam, utusan Allah, padahal mereka
tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya. (An Nisa : 157).
“Rasulullah
itu sudah kami bunuh, kata orang-orang Yahudi. Maka, orang Yahudi banyak
mendapat kutukan dari Allah”. Tetapi di katakana dalam al-Qur an :
وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ
شُبِّهَ لَهُمْ
Terjemah
: …..padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi
demikianlah ditampakkan kepada mereka (yang mereka bunuh adalah) orang yang
diserupakan dengan Isa bagi mereka…… (Surat An-Nisa : 157)
Dan ayat lain juga disebutkan bahwa
:
وَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ
شَكٍّ مِنْهُ مَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِلاَّ
اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ
يَقِيْنًا
Terjemah
: …. Dan sesungguhnya orang orang yang berselisih pendapat (tentang pembunuhan)
Isa, benar-benar dalam tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai
keyakinan tentang siapa yang di bunuh itu kecuali mengikuti perasangkaan
belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Catatan
kepahaman : Bahwa perselisihan akidah Nasrani
dengan Islam merupakan perselisihan final. Bagi umat Islam, dengan tonggak
sejarah ketika Nabi Muhammad medeklarasikan Piagam Madinah membentuk
Pemerintahan Islam berpusat di Madinah dengan “kontrak sosial” untuk hidup
bersama saling melindungi antara umat Islam, Nasrani dan Yahudi. Jadi, Nabi
Muhammad pada abad ke-7 lebih dulu mempraktikkan “kontrak sosial”. Oleh karena
itu, artikel ini tidak akan diperdebatkan dari sudut keimanan, dengan tetap
saling menghormati.
Demikian,
semoga ada manfaat dan menambah khazanah ke ilmuan kita. Amin ; Wallohu
a’alam ***
Referensi
: Syaikhonie KHR. Ahmad Ma’mun Abdul Mu’in (Allohummaghfirlahu), mantan
Musytasyar PWNU Jawa-Barat dan Rois Syuriyah PC NU Kota Bandung / Khodim Ponpes
An-nadjah ; AM. Syahrir Rahman, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas
Sunan Giri Surabaya.
Lihat
Juga Muhtasar Ibnu Katsier, Jilid 1, hal 520-523, 834-848. ; Tafsier Marrohu
Labied ‘Ala Tafsier Munir, Jilid 1, hal 100-101, 183-184.
Mukjizat artinya sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia
membuatnya karena hal itu diluar kesanggupannya. Mukjizat ini hanya diberikan
kepada nabi-nabi untuk menguatkan kenabian dan kerasulannya, dan bahwa agama /
risalah yang dibawanya bukanlah bikinannya sendiri tetapi benar-benar dari
Alloh SWT. Mukzijat tidak pernah diberikan kepada selain nabi dan atau Rosul.
Nabi
besar Muhammad SAW telah diberi beberapa mukjizat oleh Alloh SWT, diantaranya
israa’-mi’raj dalam satu malam sebagaimana tersebut dalam surat 17, al-isra ;
ayat 1, dll. Tetapi mukjizat yang terbesar yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW adalah Al-qur’an.
Al-qur’an
menjadi suatu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang dapat disaksikan oleh seluruh
umat manusia sepanjang masa, karena memang beliau diutus oleh Alloh SWT untuk
keselamatan manusia di mana dan di masa apapun mereka berada. Oleh sebab Alloh
SWT menjamin keselamatan Al-qur’an sepanjang masa. Firman Alloh SWT ;
Audzubillaaahi minasy-syaithoonirrojiem :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
Artinya
: Sesungguhnya Kamilah (lafal nahnu mentaukidkan atau mengukuhkan makna yang
terdapat di dalam isimnya inna, atau sebagai fashl) yang menurunkan
Adz-Dzikr/Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari
penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan). -(Q.S : 15 ; 9
)-
Didalam
memberikan definisi kepada Al-qur’an sengaja dicantumkan kata yang mempunyai
mukjizat, karena inilah segi keutamaan al-qur’an dan bedanya dari kitab-kitab
lain yang diturunkan kepada nabi-nabi lainnya.
Mukjizatnya
disitu terletak pada fashahah dan balaghahnya, keindahan susunan dan gaya
bahasanya yang tidak ada tara bandingannya. Mustahil manusia dapat membuat
susunan yang serupa dengan Al-qur’an yang dapat menandinginya. Di dalam
Al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang menantang setiap orang : “Kendatipun
berkumpul jin dan manusia untuk membuat yang serupa dengan Al-qur’an, mereka
tidak akan dapat membuatnya, seperti firman Alloh SWT dalam Surat 17 / Al
Israa’ 88 :
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى
أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ
لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Artinya
: Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat/mengatakan yang serupa Al-quran ini ; niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain.
Pada
ayat ini Allah SWT menegaskan mukjizat Al-quran dan keutamaannya, bahwa Alquran
itu benar-benar dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagai
bukti bahwa Alquran itu dari Allah, bukan buatan Muhammad sebagaimana yang
didakwakan oleh orang-orang kafir Mekah dan ahli kitab, Allah SWT memerintahkan
Nabi Muhammad SAW supaya menantang manusia membuat yang seperti Alquran itu.
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka yang
mengabaikan dan memandang Al-quran itu bukan wahyu Allah : “Demi Allah,
seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul, lalu mereka bermufakat dan
berusaha membuat seperti Alquran itu, baik ditinjau dari segi ketinggian gaya
bahasanya, makna dan pelajaran serta petunjuk-petunjuk yang terdapat di
dalamnya, mereka pasti tidak akan sanggup membuatnya sekalipun di antara mereka
terdapat para ahli bahasa. Para ahli ilmu pengetahuan dan semua mereka itu
dapat saling bantu-membantu dalam membuatnya.
Contohnya
:
- Beberapa pemimpin Quraisy berkumpul untuk merundingkan cara-cara menundukkan Rasululloh SAW. Akhirnya mereka sepakat untuk mengutus Abu Walid, seorang sastrawan Arab yang jarang ada bandingannya, agar ia mengajukan kepada Nabi Muhammad SAW supaya meninggalkan dakwahnya. Setelah Rasululloh SAW mendengar ucapan2 Abu Walid, beliau membacakan kepadanya surat 14, Fushilat dari awal sampai akhir. Abu Walid amat tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung-menung memikirkan keindahan gaya bahasanya, kemudian langsung kembali kepada kaumnya tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Rasululloh SAW. Kaumnya yang telah lama menunggunya dengan gelisah dan tiada sabar lagi, melihat perubahan yang nyata pada mukanya. Segera bertanya : “Apa hasil yang kamu bawa dan mengapa engkau bermuram durja ?”. Abu Walid menjawab : “Aku belum pernah mendengarkan kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia adalah tingi dan tak ada yang dapat mengatasinya”. Mendengar jawaban ini mereka menuduh Abu Walid telah berkhianat terhadap agama nenek moyangnya, cenderung kepada agama Islam.
- Mengenai reaksi ahli syair dan sastra terhadap tantangan Al-qur’an, mereka bungkam dalam seribu bahasa, tak ada yang berani tampil ke muka, karena memang tidak sanggup dan takut akan mendapat cemoohan dan hinaan. Memang banyak diantara pemimpin2 dan ahli sastra Arab yang mencoba dan meniru Al-qur’an, bahkan kadang-kadang ada yang mendakwahkan dirinya jadi nabi, seperti Musailamah al-kadz-dzab, Thulaihah, Habalah bin Ka’ab, dll. Tetapi mereka itu semuanya menemui kegagalan, bahkan mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Sebagai contoh kata2 musailamah al-kadzab ysng dianggapnya dapat menandingi sebagian ayat-ayat Al-qur’an :
أيها الضفدع بنات ضفدعين أعلاك في الماء وأسفلك في
التراب
Artinya
: Hai katak (kodok) anak dari dua katak. Bersihkanlah apa-apa yang akan engkau
bersihkan, bahagian atas engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.
Seorang
satrawan Arab yang termasyhur, yaitu Al-Jahir telah memberikan penilaiaannya
atas gubahan Musailamah ini dalam bukunya yang bernama “Al-Hayawan” sebagai
berikut : Saya tidak mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah
menyebut katak (kodok) dan sebagainya itu. Alangkah buruknya gubahan yang
dikatakannya sebagai ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Bagi
sebagian orang dari kita yang umumnya tidak mengetahui dan mendalami bahasa
Arab, amat sulit untuk menemukan di mana letak I’jaznya Al-qur’an, karena
mengetahui ketinggian mutu sesuatu, susunan kata-kata tidak akan dapat
difahami, kalau kita tidak dapat merasakan keindahan bahasa itu sendiri. Oleh
sebab itu cukuplah kalau diketahui bagaimana pengaruh Al-qur’an terhadap
sastrawan-sastrawan penantang Islam dan reaksi mereka terhadap
tantangan-tantangan Al-qur’an sendiri, karena pengakuan musuh-musuh Islam
adalah bukti yang nyata atas kebenaran I’jaznya kitab suci ini.
Al-qur’an
sendirilah salah satu hakiki mukjizat yang jelas dan gamblang dari Alloh SWT
kepada Nabi Muhammad SAW yang berlaku sepanjang zaman. Berfikirlah
cerdas dengan dibawah bimbingan Al-qur’an. Wallohu Subhaana Wa Ta-’alaa bil
A’lam *** (Iqbal1).
Sejak
abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya
gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama
gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana
ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi
fitnah. Di sini kita akan membicarakan fitnah Wahabi terhadap kitab-kitab para
ulama dahulu.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan
ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di
antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan
bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi
pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif
kitab.
Pada
masa dahulu ada seorang ulama Mujassimah, yaitu Ibn Baththah al-’Ukbari,
penulis kitab al-Ibanah, sebuah kitab hadits yang menjadi salah satu
rujukan utama akidah Wahabi. Menurut al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, Ibn
Baththah pernah ketahuan menggosok nama pemilik dan perawi salinan kitab Mu’jam
al-Baghawi, dan diganti dengan namanya sendiri, sehingga terkesan bahwa Ibn
Baththah telah meriwayatkan kitab tersebut. Bahkan al-Hafizh Ibn Asakir juga
bercerita, bahwa ia pernah diperlihatkan oleh gurunya, Abu al-Qasim
al-Samarqandi, sebagian salinan Mu’jam al-Baghawi yang digosok oleh Ibn
Baththah dan diperbaiki dengan diganti namanya sendiri.
Belakangan
Ibn Taimiyah al-Harrani, ideolog pertama aliran Wahabi, seringkali memalsu
pendapat para ulama dalam kitab-kitabnya. Misalnya ia pernah menyatakan dalam
kitabnya al-Furqan Bayna al-Haqq wa al-Bathil, bahwa al-Imam Fakhruddin
al-Razi ragu-ragu terhadap madzhab al-Asy’ari di akhir hayatnya dan
lebih condong ke madzhab Mujassimah, yang diikuti Ibn Taimiyah. Ternyata
setelah dilihat dalam kitab Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah, karya Ibn
al-Qayyim, murid Ibn Taimiyah, ia telah men-tahrif pernyataan al-Razi
dalam kitabnya Aqsam al-Ladzdzat.
Tradisi
tahrif ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang
mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga
dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat
sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil
orang-orang Wahabi.
- Di antaranya adalah kitab al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab al-Ibanah tersebut dengan al-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr.
- Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-tahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu’man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir Ruh al-Ma’ani ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.
- Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-tahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi Tafsir al-Zamakhsyari, namun telah berubah menjadi tafsir Wahabi.
- Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain yang populer dengan Tafsir al-Shawi, mengalami nasib serupa. Tafsir al-Shawi yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-’Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.
- Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali, juga tidak lepas dari tahrif mereka. Wahabi telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.
- Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-tahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.
Demikianlah
beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahabi. Tentu saja tulisan
ini tidak mengupas berbagai cara tahrif dan perusakan Wahhabi terhadap
kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah peninggalan para ulama kita. Namun
setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu
berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. Wallahu
a’lam.
Penulis
: KH. Idrus Ramli, Pengurus
Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS) Jember.
Suatu
Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih
pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki
yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah
mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).
Setelah
berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai
Keramat ; Kyai Khalil – Bangkalan.
Ketika
itu Kyai yang jadi maha guru para kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam
mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kyai
Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib, teriak Kyai Khalil bangkalan menyambut kedatangan
Habib Jindan.
Tentu
saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah
payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki
yaumiddin itu.
Demikian
cerita Al Habib ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat
itu pada Tafsir Thabari. (***Ref. http://www.habibluthfiyahya.net)
- Tafsier Al-Jalalain. Karya Imam Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Al-Mahalli, dan kemudian oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Suyuuthie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=207
- Tafsier Al-Baidhowie. Karya Imam Al-Baidhowie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=580)
- Tafsier Al-Qurthubi (Al-Jaami’ul Ahkamul Qur’an) ; Karya Al-Imam Abu Abdulloh Al-Qurthubie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=254 )
- Tafsier Khozien. Karya Imam Abu Hasan Alie Bin Muhammad Al-Khozien. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=2281)
- Tafsier Siroojul Munier. Karya Muhammad Bin Ahmad As-Sarbini Syamsuddin. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=2323)
- Tafsier Samarqondi (Bahrul ‘Ulum). Karya Abu Al-Laits Nashor Bin Muhammad Bin Ibrahiem As-Samarqondie (Al-Fqh Al-Hanafi), (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1531).
- Tafsier Ibnu Katsier (Tafsier Al-qur’anul adhiem) ; Karya Al-Hafidz Ibnu Katsier. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=264 )
- Tafsier Ath-thobarie (Jaami’ul Bayyan). Karya : Al-Imam Ibnu Jarier Ath-thobarie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=416 )
- Tafsier Fakhrurrozie, Tafsier Al-Kabier. Karya Imam Al-Fahrurroozie. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1523)
- Tafsier Fie Dlilalil Qur’an. Karya : Sayyid Quthub Rohimulloh. (Klik http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=571)
- Dll..
Membuka
keutamaan-keutamaan, mempelajari al-qur’anul kariem dengan maksud memahami
maksud-maksudnya, atau ingin mengerti pengertian-pengertiannya, tidaklah
semudah mengatakannya atau dengan dapat dilakukan langsung kepada
terjemahannya, tetapi mutlak mesti dilakukan dengan menguasai berbagai cabang
ilmu dan pengetahuannya, diantaranya ilmu tafsier. Kalaupun hanya baru dapat
membacanya, itupun sudah cukup mendatangkan pahala dan akan mendapatkan
maunahnya. Jika belum mumpuni tidak perlu memaksakan mengambil pemahamannya.
Sangat diperlukan berpegang kepada Al-qur’an tersebut secara ilmiah.
Untuk
menghindari kesalahan pengertian tersebut, maka tafsier al-qur’anul kariem yang
disusun oleh para ulama mujtahidin mutlak, dapat menjadi rujukan dan dipakai
untuk maksud tersebut di atas. Sangat dikuatirkan, atau karena
ketidak-sungguh-sungguhan atau kesembronoan yang mengemukakan pemahaman dari
aspek terjemahan semata, atau ro’yu akan mengakibatkan jatuh ke dalam
kekufuran.
Disini
tertampil Kitab Tafsir yang diberi nama ; “Marroohul Labied Lil Kasyfil Ma’naa
Al-qur’aanul Majied” (Keranjang Yang Indah Serta Luas untuk Menyingkapkan
Arti-arti Al-Qur’an Yang Agung) atau dikenal sebagai Kitab Tafsir “Marrohu
Labied Tafsier An-Nawawie / Tafsier Munier”, yaitu Kitab Tafsir lengkap
Al-qur’anul Kariem yang disusun oleh Al-’alamah Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi
Rohimahulloh, ulama Nusantara dari Tanara Banten – P. Jawa ; yang keilmuannya
diakui ulama besar Islam lainnya secara internasional. Kitab2 susunan beliau
digunakan sebagai mata pelajaran di pesantren2. Beliau mendapat gelaran pada
zamannya ‘Sayid Ulama Hijaz’, ‘hujatul Islam 2′ setelah Imam Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali Rohimahulloh, atau ‘Nawawi 2′ dari Al-mu’allim Imam Nawawi
Rohimahulloh, mujtahid besar dalam Madhab Imam Syafi’ie.
Kitab
ini biasa dipelajari oleh Santri Lanjutan di kalangan Pesantren Salafiyyah
untuk mengkaji Al-Qur’anul Adhiem dari aspek Ilmu Tafsir. Keutamaan kandungan
materinya cukup lengkap, Intisarinya praktis, tidak kurang meliputi bahasan
dari aspek Ilmu-ilmu Alat (Balaghah, Bayyan), Fiqih, Tauhid, Ahlak /
Tashawuf, dll. (Wallohu ‘alam)
Materi
Tafsier Munir dapat di-Klik secara online di alamat ini : http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=6&book=1013