mengikuti sunnah Nabi & Jamaah
sahabatnya, senantiasa bersatu dalam jamaah kaum muslimin
ULUMUL QURAN & TAFSIR
I. Pengertian Al-Quran
Al-Quran adalah firman /
kalam Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan berupa wahyu kepada Rasulullah
Muhammad saw. dikumpulkan pada satu
mushaf mulai dari surat
Al-Fatihah sampai surat An-Naas dan dinukil kepada kita secara mutawatir,
membaca dan mempelajarinya nya merupakan ibadah yang mendapat pahala.
Nama atau sebutan lain bagi Al-Quran
:
1. Al-Kitab buku yang tertulis-
disebutkan dalam QS Ad-Dukhan, ayat 2 : Demi Kitab (Al- Quran) yang menjelaskan
2. Adz-Dzikra
peringatan- disebutkan dalam QS Al-Hijr, ayat 9 : Sesungguhnya kamilah yang
menurunkan adz-Dzikra (Al-Quran) dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya.
3. Al-Qaul ucapan- disebutkan dalam
QS Al-Qashash ayat 51 : Dan sesungguhnya telah kami turunkan berturut-turut
perkataan ini (Al-Quran) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran.
4. Al-Kalam -firman- disebutkan
dalam QS At-Taubah ayat 6 : Dan jika diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Kalam
Allah (Al-Quran), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian
itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengerti.
5. At-Tanzil yang
diturunkan- disebutkan dalam QS Asy-Syuara ayat 192 : Dan sesungguhnya
(Al-Quran) ini benar-benar diturunkan oleh tuhan semesta alam.
6.
Al-Furqan pembeda- disebutkan dalam QS Al-Furqan ayat 1 : Maha suci Allah yang
telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia memberi
peringatan kepada seluruh alam.
7.
Ar-Ruh jiwa- disebutkan dalam QS Asy-Syura ayat 42 : Dan demikianlah Kami
wahyukan kepadamu Ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami.
8.
Al-Balagh penyampaian- disebutkan dalam QS Ibrahim ayat 52 : (Al-Quran) ini
adalah penyampaian yang cukup kepada manusia supaya mereka diberi peringatan
dengan dia.
9.
Al-Basahair pedoman- disebutkan dalam QS Al-Jatsiyah ayat 20 : (Al-Quran) ini
adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.
10.
Al-Bayan penerangan- disebutkan dalam QS Ali Imron ayat 138 : (Al-Quran) ini
adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertaqwa.
11.
An-Nur cahaya- disebutkan dalam QS An-Nisa ayat 174 : Hai manusia sesungguhnya
telah datang kepadamu bukti kebenaran dari tuhanmu dan telah Kami turunkan
kepadamu cahaya (Al-Quran) yang terang benderang.
12.
Al-Huda petunjuk- disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 33 : Dia lah yang telah
mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar.
Sebutan
lain untuk Al-Quran yang berupa sifat :
1.
Nur (cahaya) QS An Nisa : 174.
2.
Huda (petunjuk), syifa (obat), Rahmat dan Mauizah (nasehat) QS Yunus : 57.
3.
Mubin (yang menerangkan) QS Al-Maidah : 15.
4.
Mubarak (yang diberkati) QS Al-Anam : 92.
5.
Busyra (khabar gembira) QS Al-Baqoroh : 97.
6.
Azis (mulia) QS Fussilat : 41.
7.
Majid (yang dihormati) QS Al-Buruj : 21.
8.
Basyir (pembawa khabar gembira) dan nadzir (pembawa peringatan) QS Fussilat :
3-4.
Perbedaan
Al-Quran dengan Hadis Qudsi :
1.
Al-Quran adalah mukjizat dan mengandung tantangan kepada seluruh manusia dan
Jin yang mereka semua tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Al-Quran
walau satu ayat pun. Sedangkan hadis qudsi bukan merupakan mukjizat dan tidak
mengandung tantangan.
2.
Seluruh isi Al-Quran dinukil secara mutawatir dan qothi, sedangkan hadis qudsi
kebanyakan adalah khabar ahad yang sebatas dzan (dugaan).
3.
Al-Quran semuanya berasal dari Allah baik makna maupun redaksi lafalnya, sedangkan
hadis qudsi maknanya saja dari Allah, sedangkan redaksi lafalnya dari
Rasulullah atau dari periwayat hadis.
4.
Perlakuan terhadap Al-Quran yaitu : dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas
kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar, tidak berlaku bagi hadis
qudsi.
5.
Membaca Al-Quran setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca hadis
qudsi tidak.
Kandungan
Al-Quran
1.
Doktrin Itikad dan akidah.
2.
Hukum-hukum ibadah, muamalah, munakahat, Uqubat (sanksi)
3.
Hukum halal-haram.
4.
Janji (khabar gembira) dan ancaman (peringatan).
5.
Science Ilmiah.
6.
Kisah kisah.
Pem-Wahyu-an
Al-Quran
Wahyu
adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada salah seorang Nabi/Rasul-Nya,
mengenai hukum syariat dan sejenisnya, yang bila tersusun dalam lembaran (luh/mushaf)
disebut sebagai kitab suci.
Cara
turunnya wahyu kepada Rasulullah :
1.
Melalui mimpi yang benar (ruyah shadiqah)
2.
Dihembuskan oleh Malaikat Jibril kedalam hati Rasulullah.
3.
Malaikat Jibril menjelma sebagai seorang laki-laki yang menyampaikan wahyu
kepada Rasulullah dengan kata-kata.
4.
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dalam bentuknya yang asli (mempunyai 600
sayap).
5.
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dalam bentuk seperti gemerincingnya lonceng.
Ini cara penerimaan wahyu yang paling berat, sampai-sampai Rasulullah
berpeluh-keringat ketika menerima wahyu berupa gemerincingnya lonceng ini.
6.
Allah berbicara secara langsung dari balik tabir (saat Isra Miraj). Sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah : Dan tiada seorang manusiaa pun Allah akan
berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari balik tabir
atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia sungguh Maha Tinggi dan Maha Bijaksana
(QS Asy-Syura [42] : 51)
Semua
ucapan Rasulullah adalah kebenaran, jaminan ini didasarkan pada firman Allah :
Apa
yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS
An-Najm [53] : 4).
Katakanlah
: Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku
tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku (QS Yunus [10] : 15).
II.
Turunnya Al-Quran
Allah
berfirman dalam Al-Quran :
Bulan
Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang
haq dengan yang batil (QS Al-Baqarah [2] : 185).
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan (Al-Quran) pada malam lailatul qodar (QS Al-Qadr [97] :
1).
Sesungguhnya
Kami menurunkan (Al-Quran) pada suatu malam yang diberkahi (QS Ad-Dukhan [44] :
3)
Ketiga
ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam
lailatul qadr dalam bulan Ramadhan. Tetapi zahir ayat-ayat ini bertentangan
dengan kenyataan bahwa ayat-ayat Al-Quran turun kepada Rasulullah tidak selalu
dalam waktu malam dan pada malam lailatul qadr dan tidak selalu pada bulan
Ramadhan.
Ada
3 (tiga) pendapat tentang cara turunnya Al-Quran :
Pertama
: Pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan Al-Quran diturunkan secara langsung dari
Lauhful Mahfudz ke Baitul Izzah (langit dunia) secara sekaligus pada malam
lailatul qadr di bulan Ramadhan, kemudian sesudah itu Al-Quran diturunkan dari
Baitul Izzah kepada Rasulullah secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.
Kedua
: Pendapat Asy-Syabi, seorang tabiin besar, guru Imam Abu Hanifah. Yang
dimaksud Al-Quran diturunkan pada malam lailatul qadr yang diberkahi pada bulan
Ramadhan adalah permulaannya saja, kemudian turunnya itu berlanjut sesudah itu
secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang
lebih 23 tahun
Ketiga
: Pendapat sebagian mufasirin, Al-Quran diturunkan ke langit dunia selama 23
malam lailatul qadr pada masing-masing tahun. Jadi pada satu malam lailatul
qadr diturunkan Al-Quran untuk masa genap satu tahun, demikian seterusnya tiap
tahun sampai kurang lebih 23 tahun.
Pendapat
pertama dan kedua dapat dikompromikan dan pendapat inilah yang dianut oleh
jumhur ulama.
Hikmah
turunnya Al-Quran secara bertahap :
1.
Menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah.
2.
Mukjizat dan tantangan
3.
Mempermudah hafalan dan pemahaman.
4.
Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pentahapan penerapan hukum.
5.
Membuktikan Al-Quran datang dari sisi Allah. Selama rentang waktu turunnya
Al-Quran yang begitu panjang tetap ditemui keserasian dan keterkaitan antar
ayat-ayatnya dan tidak ditemukan pertentangan sedikitpun didalamnya.
Ayat
yang pertama kali diturunkan :
1.
Ayat yang pertama kali diturunkan di Makkah adalah surat Al-Alaq [96] dan yang
pertama kali diturunkan di Madinah adalah surat Al-Baqarah [2].
2.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai peperangan adalah surat Al-Haj [22]
ayat 39.
3.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai khamr adalah surat Al-Baqarah [2]
ayat 219.
4.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai sajdah (sujud tilawah) adalah surat
An-Najm [53].
5.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai mengatur makanan di Makkah adalah
surat Al-Anam [6] ayat 145.
6.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai mengatur makanan di Madinah adalah
surat Al-Baqarah [2] ayat 173.
Ayat
yang terakhir kali diturunkan :
Ada
beberapa pendapat yang berbeda mengenai ayat mana yang terkahir diturunkan,
diantaranya :
1.
An-Nisa [4] ayat 176 tentang kalalah, berdasarkan atsar dari Barra Bin Azib
yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim.
2.
Al-Baqarah [2] ayat 278 tentang riba, berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Bukhary.
3.
Al-Baqarah [2] ayat 281, berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas dan Said Bin Jubair
yang diriwayatkan oleh An-Nasai dan lain-lain.
4.
Al-Baqarah [2] ayat 282 tentang menuliskan hutang, berdasarkan atsar dari Said
Bin Al Musayyab.
5.
At-Taubah [9] ayat 128, berdasarkan atsar dari Ubay Bin Kaab dalam kitab
Al-Mustadrak
6.
Ali Imran [3] ayat 195, berdasarkan atsar dari Ummu Salamah yang diriwayatkan
oleh Ibn Mardawaih.
7.
An-Nisa [4] ayat 93 tentang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berdasarkan
atsar dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhary dan yang lain.
Pendapat
yang paling kuat dan banyak diikuti jumhur ulama adalah empat pendapat yang
pertama.
III.
Sejarah Pembukuan Al-Quran
i.
Masa Rasulullah
Pada
masa Rasulullah ayat Al-Quran yang turun dihafal oleh beliau Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya
(QS Al-Qiyamah [75] : 17-18). Oleh karena itu beliau merupakan hafidz
(penghafal) Al-Quran yang pertama dan maha guru pemberi contoh panutan paling
baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Dalam sahih Bukhary dalam tiga
riwayat disebutkan ada tujuh hafidz dari kalangan sahabat yang hafal Al-Quran,
yaitu :
1.
Abdullah bin Masud
2. Salim Bin Maqal maula Abu Huzaifah.
3. Muaz Bin Jabal.
4. Ubay Bin Kaab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda.
2. Salim Bin Maqal maula Abu Huzaifah.
3. Muaz Bin Jabal.
4. Ubay Bin Kaab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda.
Ke-tujuh
penghafal Al-Quran diatas adalah para sahabat yang hafal Al-Quran diluar kepala
yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanadnya sampai kepada kita
melalui riwayat Bukhary. Sedangkan kenyataannya setelah Rasulullah wafat,
jumlah penghafal (hafidz) Al-Quran dikalangan sahabat terus bertambah. Untuk
melukiskan hal itu dapat diketahui dari keterangan Al-Qurtubi : Telah terbunuh
tujuh puluh orang qari pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi
sejumlah itu dalam peristiwa pembunuhan di sumur Maaunah.
Rasulullah
telah mengangkat beberapa penulis Al-Quran dari sahabat-sahabat terkemuka,
seperti : Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sufyan, Ubay Bin Kaab dan Zaid
Bin Tsabit. Bila ayat Al-Quran turun beliau memerintahkan mereka menuliskannya
dan menunjukkan tempat ayat tersebut didalam surat, sehingga penulisan pada
lembaran itu membantu penghafalan didalam hati (diluar kepala). Disamping itu
sebagian sahabat menuliskan ayat Al-Quran yang turun itu dengan kemauan sendiri
tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskan ayat Al-Quran pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit binatang atau kulit kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Dalam Al Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Zaid Bin
Tsabit berkata : kami menuliskan ayat-ayat Al-Quran pada kulit binatang (sanad
sahih menurut syarat Bukhary dan Muslim).
Pada
masa Rasulullah Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf, karena pada masa
kenabian wahyu masih turun dan Rasulullah masih selalu menanti turunnya ayat
Al-Quran, disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang nasikh (dihapus).
Susunan atau tertib penulisan Al-Quran itu tidak menurut tertib nuzulnya,
tetapi setiap ayat turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk
Nabi, yaitu beliau menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu.
Al-Khattabi berkata : Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf
karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum
atau bacaannya.
ii.
Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq ra.
Setelah
Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Saat itu hampir seluruh
kabilah-kabilah Arab kembali murtad dan sebagian membangkang menolak membayar
zakat, karena mereka mengira kekuatan Islam sudah pudar setelah meninggalnya
Rasulullah. Untuk mengatasi kemurtadan dan pembangkangan khabilah-khabilah Arab
itu Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk menundukkan mereka dan menyeru
kembali kepada Islam yang dikenal sebagai perang ridah.
Disamping
itu di daerah Yamamah Arab Selatan- muncul Musailamah Al-Khazab sang pendusta-
yang mengaku sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar memeranginya yang dikenal sebagai
perang Yamamah. Pada berbagai peperangan-peperangan tersebut banyak qari dan
pengahafal Al-Quran dari kalangan sahabat nabi yang gugur. Umar Bin Khattab
yang merupakan penasehat utama Khalifah Abu Bakar merasa khawatir Al-Quran akan
punah bersama banyaknya qari yang gugur tersebut. Umar Bin Khattab mengusulkan
agar Al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf.
Mula-mula
Khalifah Abu Bakar menolak usulan itu dengan alasan hal itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah dan hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar
terus membujuk Khalifah Abu Bakar tentang perlunya pembukuan Al-Quran dalam
satu mushaf, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan
umar tersebut. Khalifah Abu Bakar kemudian memanggil Zaid Bin Tsabit dan
memerintahkannya untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.
Zaid
Bin Tsabit berkata : Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Abu Bakar menjawab : Demi Allah, itu baik,
Abu Bakar terus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku.
Maka
Zaid Bin Tsabit mulai bekerja mengumpulkan tulisan manuskrip Al-Quran dengan
sangat teliti dan hati-hati. Zaid Bin Tsabit meneliti hafalan pemilik catatan
Al-Quran dan mensyaratkan harus ada 2 orang saksi yang menyaksikan bahwa
tulisan manuskrip Al-Quran itu ditulis dihadapan Rasulullah, padahal Zaid Bin
Tsabit sendiri sudah hafal seluruh Al-Quran diluar kepala. Dengan kerja keras,
teliti dan hati-hati akhirnya seluruh Al-Quran berhasil dikumpulkan dalam satu
mushaf dengan tujuh huruf.
Setelah
Abu Bakar wafat, Mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah penggantinya yaitu Umar
Bin Khattab. Setelah Khalifah Umar meninggal, Mushaf tersebut disimpan oleh
Hafsah Binti Umar.
C.
Masa Khalifah Usman Bin Affan ra.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar kaum muslimin telah melakukan
penaklukan ke negeri-negeri diluar jazirah Arab seperti, Syam, Iraq, Persia dan
Mesir. Pada masa Khalifah Usman penaklukan masih terus berlangsung.
Ketika
terjadi perang penaklukan Armenia dan Azerbaijan, diantara mujahidin yang ikut
menyerbu itu adalah sahabat nabi Huzaifah Bin Al-Yaman. Beliau melihat banyak
perbedaan diantara pasukan kaum muslimin dalam cara-cara membaca Al-Quran.
Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing
mempertahankan dan bersikukuh berpegang pada bacaannya masing-masing dan bahkan
sempat saling berselisih dan saling mengkafirkan.
Riwayat
dari Anas, Huzaifah berkata kepada Usman : Selamatkanlah umat ini sebelum
mereka terlibat dalam perselisihan (masalah kitab suci) sebagaimana
perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Atsar
dari Abu Qalabah berkata : Pada masa kekhalifahan Usman telah terjadi seorang
guru qiraat mengajarkan qiraat kepada seseorang dan guru yang lain juga
mengajarkan qiraat yang berbeda kepada anak yang lain. Dua kelompok anak-anak
yang belajar qiraat ini pada suatu ketika bertemu dan berselisih dan hal itu
menjalar juga sampai kepada guru-guru mereka. Hal itu akhirnya sampai terdengar
kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato : Kalian yang ada dihadapanku teah
berselisih paham dan salah dalam membaca Al-Quran. Penduduk yang jauh dari kami
tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf pedoman)
saja !.
Khalifah
Usman kemudian meminjam mushaf yang ada pada Hafsah binti Umar dan
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Said Bin Ash dan
Abdurrahman Bin Haris untuk menyalinnya. Usman berkata kepada ketiga orang
Quraisy itu : Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid Bin Tsabit tentang
sesuatu dari Al-Quran, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Quran
diturunkan dalam bahasa Quraisy. Merekapun bekerja menyalin Mushaf Abu Bakar
menjadi beberapa mushaf. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa
mushaf, Khalifah Usman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya
Khalifah Usman mengirimkan kesetiap wilayah, masing-masing satu mushaf dan
memerintahkan agar semua manuskrip Al-Quran yang lainnya dibakar.
Ketika
penyalinan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat kepada semua
penduduk daerah yang isinya : Aku telah melakukan yang demikian dan demikian.
Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.
Uraian
diatas menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada masa Khalifah Usman ditulis
dengan satu huruf yaitu sesuai dengan dialek Quraisy dan meninggalkan enam
huruf yang lainnya, hal itu untuk keseragaman dan menghindari perselisihan.
Mushaf Usmani inilah yang kemudian dinukil turun temurun secara mutawatir
sampai kepada kita sekarang ini.
Tertib
Ayat dan Surah
Tertib
susunan ayat Al-Quran menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah)
bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al Quran. As Suyuthi
berkata : Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan
kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau
ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para
penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada
mereka : Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini
dan begini, atau Letakkanlah ayat ini ditempat anu.
Mengenai
tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi
yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah mushaf Usmani. Mushaf
Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Masud dimulai dari surah
Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Kaab dimulai
Al-Fatihah, An-Nisa kemudian Ali-Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian
sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib
susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma (sepakat) adalah tertib
susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus
yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah
Al-Quran, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani
dalam kitab Al-Burhan mengatakan : Tertib surah seperti yang kita kenal
sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Quran sudah menurut
tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malakikat
Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril
itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi
mengatakan tertib susunan surah Al-Quran itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan
At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : Aku bertanya kepada Usman : Apakah
yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Baraah
(At-Taubah) yang termasuk miin untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa
kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun
meletakaannya pada as-sabut tiwal (tujuh surat panjang) ?, Usman menjawab :
Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat.
Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan
mengatakan : Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu
dan anu. Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah
Baraah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan
kisah dalam surah Baraah, sehingga aku mengirabahwa surah Baraah adalah bagian
dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami
bahwa surah Baraah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua
surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sabut tiwal.
Surah-surah
dan ayat-ayat Al-Quran
1.
At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu : Al-Baqarah, Ali
Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-Anam, Al-Araf , ketujuh : Al-Anfal dan At-Taubah
sekaligus, sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah Yunus.
2.
Al-Miun : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur atau sekitar
itu.
3.
Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Miun. Dinamakan
Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih bnayak dari At-Tiwal dan
Al-Miun.
4.
Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan
dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl
(pemisahan) dinatara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi
menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm
Usmani
Yang
dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Quran hasil kerja
beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Quran yang
diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Usman. Mengenai
penulisan Al-Quran dengan rasm Usmani ini ada beberapa pendapat :
1.
Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang wajib dipakai
dalam penulisan Al-Quran. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis
ad-Dabbag.
2.
Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma
umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3.
Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang
mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika
menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu
tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur
ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Quran yang
menyalahi rasm Usmani.
Ijam
(penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf
Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan
pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak
memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar
jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya
percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada
perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang
dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang
pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Duali, peletak pertama
dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan
rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah
berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir
huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi
perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan
oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah fathah adalah dengan tanda sempang diatas
huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda
serupa (double). Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan
dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda
iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi
tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak diberi tanda apa apa
ketika idgam dan ikkhfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi
tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf
sesudahnya diberi tanda syaddah; keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap
dituliskan.
Para
ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan
terjadi penambahan dalam Al-Quran, berdasarkan ucapan Ibnu Masud : Bersihkan
Al-Quran dan jangan dicampuradukkan dengan apapun. Al-Halimi mengatakan :
Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam
mushaf sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai
bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Quran dengan yang bukan Al-Quran. Titik
merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan
untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian
akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Al Hasan dan Ibnu
Sirin keduanya mengatakan : Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.
Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : Tidak mengapa memberi syakal pada
mushaf. An-Nawawi mengatakan : Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu
dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf daru kesalahan dan
penyimpangan (pembacaan). Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah
mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Quran
Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash
sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai turunnya Al-Quran dengan
tujuh huruf, diantaranya :
Dari
Ibnu Abbas : Rasulullah berkata : Jibril membacakan (Al-Quran) kepadaku dengan
satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu
ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf.
Dari
Ubay Bin Kaab : Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi
Jibril seraya mengatakan : Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Quran
kepada umatmu dengan satu huruf. Beliau menjawab : Aku memohon kepada Allah
ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah
itu. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : Allah memerintahkanmu
agar membacakan Al-Quran kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab : Aku
memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat
melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan
: Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Quran kepada umatmu dengan tiga
huruf. Nabi menjawab : Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya,
umatku tidak kuat melaksanakannya. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang
keempat kalinya seraya berkata : Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Quran
kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka
benar.
Hadis-hadis
berkenaan dengan Al-Quran dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi
menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh
orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis
mengenai Al-Quran dengan tujuh huruf.
Perbedaan
pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1.
Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu
bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian
memasukkan Asad, Rabiah, Sad. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca
berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap
sama.
2.
Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Quran diturunkan,
yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya
dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Quran mencakup dari tujuh bahasa
diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Quran
3.
Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wad (janji), waid
(ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4.
Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf
dalam : asma (kata benda), irab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim
(mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah
(tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgam).
5.
Qiraat Tujuh.
Pendapat
pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
Hikmah
Al-Quran dengan tujuh huruf :
1.
Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis,
yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2.
Bukti kemukjizatan Al-Quran bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab
yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah
saja yang seperti Al-Quran, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3.
Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang
penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukumdan ijtihad
ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
IV.
Ijaz (Kemukjizatan) Al-Quran
Kata
mukjizat berasal dari kata ajaz (lemah).Ijaz dapat diartikan mukjizat, hal yang
melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. Ijazul Quran
adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Quran yang
menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok,
untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Quran
itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi, balagah/
kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri
(penetapan hukum syariat).
Muhammad
Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan
Al-Quran sebagai berikut :
1.
Susunan kalimatnya indah.
2.
Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub
bahasa Arab.
3.
Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai
Al-Quran, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
4.
Betuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail
rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap
undang-undang ciptaan manusia.
5.
Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal
semata-mata.
6.
Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7.
Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Quran.
8.
Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9.
Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya
V.
Munasabah (Korelasi)
Munasabah
adalah ilmu yang membahas korelasi urutan antar ayat Al-Quran dan atau antar
surah Al-Quran. Pengetahuan tentang munasabah akan membantu memahami makna ayat
Al-Quran. Kadang ditemukan kaitan umum atau khusus diantara ayat-ayat Al-Quran
baik yang rasional, inderawi maupun imajinatif tanpa mengupas lafazh-lafazh
menurut makna peristilahan bahasa maupun pemikiran filosofis. Sebagian besar
kaitannya berkisar sekitar sebab dan musabab. Jika ayat-ayat itu tidak saling
bertemu, tidak terdapat kecocokan, tentu berhadapan dengan lawannya. misalnya
menyebut rahmat setelah azab, menerangkan keadaan sorga dan neraka, mengarahkan
hati nurani serta membangkitkan akal pikiran dan memberikan peringatan serta
mengutarakan ketentuan hukum.
Ahli
tafsir sangat sedikit mengetengahkan soal-soal seperti ini, bukan hanya karena
rumit semata, melainkan juga karena persoalannya dipandang oleh sebagian orang
sangat tidak dibutuhkan, disamping banyak menguras tenaga dan pikiran.
Orang
pertama yang membahas munasabah dalam menafsirkan Al-Quran adalah Abu Bakar An
Naisaburi (wafat 324 H). As Suyuthi berkata : Setiap kali ia (An-Naisaburi)
duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al-Quran kepadanya, beliau berkata :
Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat
ini disamping surat ini ?. Beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka
tidak mengetahui.
Tindakan
An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah barudalam dunia tafsir waktu itu.
Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap- persesuaian, baik antar ayat
ataupun antar surah, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan
kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau
dipandang sebagai bapak ilmu munasabah.
Perkembangan
selanjutnya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu
Al-Quran. Penulis yang membahas dengan baik masalah munasabah adalah
Burhanuddin Al-Biqai dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar.
Manfaat
munasabah dalam memahami ayat Al-Quran ada dua yaitu :
1.
Memahami keutuhan, keindahan dan kehalusan bahasa.
2.
Membantu dalam memahami kutuhan makna Al-Quran.
Untuk menemukan korelasi antar ayat,sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
Untuk menemukan korelasi antar ayat,sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
VI.
Fawatihus Suwar(Pembukaan Surat)
Fawatisus
suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan
teks-teks p-ada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah
dinamakan dengan ahruf muqattaah (huruf-huruf terpisah), karena posisi huruf
tersebut menyendiri dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara
kebahasaan.
Ibnu
Abi Al Asba menulis kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini yaitu
kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, beliau membagi bentuk
pembukaan surat dalam Al-Quran dalam lima bentuk :
1.
Pujian kepada Allah.
2.
Huruf muqattaah, terdapat dalam 29 surat.
3.
Kata seru (ahruhun nida), terdapat dalam 10 surat.
4.
Kalimat berita, terdapat dalam 23 surat.
5.
Sumpah, terdapat dalam 15 surat.
Pembahasan
yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa pembukaan surat yang berbentuk
huruf muqattaah sering menimbulkan kontroversi diantara mereka. Sehingga tidak
heran apabila huruf-hurf muqattaah tersebut sering dikategorikan sebagai
ayat-ayat mutasyabihat yang tidak seorangpun mengetahui artinya kecuali Allah.
Atau bahkan disebut sebagai salah satu rahasia tuhan yang terdapat dalam
Al-Quran.
VII.
Qiraat dan Pengajaran Al-Quran
Dari
segi bahasa kata qiraah berarti bacaan, masdar dari qaraa. Dari segi istilah,
Az-Zaqrani memberikan pengertian qiraah adalah sebagai suatu mazhab yang dianut
oleh seorang qari dalam membaca Al-Quran yang berbeda satu dengan yang lainnya
dalam pengucapan Al-Quran serta disepakati riwayat dan sanad-sanadnya, baik
perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pencucapan lafaznya.
Mazhab
qiraah yang terkenal adalah qiraah sabah (tujuh), qiraah asyarah (sepuluh) dan
qiraah arbaa asyarah (empat belas). Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya
kapasitas intelektual dan kapasitas masing-masing sahabat dalam mengetahui cara
membaca Al-Quran. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan Al-Quran dalam mushaf
Usmani yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al-Quran
dapat berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam
semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan Al-Quran menyebar ke berbagai
daerah.
Qiraah
sabah (tujuh) adalah qiraah yang merujuk kepada tujuh imam yang masyhur, yaitu
:
1.
Ibnu Katsir dari Mekkah, yang nama lengkapnya adalah Abu Mabad Muhammad
Abdullah Bin Katsir Bin umar bin Zadin Ad-Dari Al Makki (45-120 H). Belajar
qiraah kepada sahabat Nabi Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib Al Makhzumi.
2.
Imam Nafi dari Isfahan (Madinah), yang nama lengkapnya adalah Abu Nuaim Nafi
bin Abdurrahman bin Abu Nuaim Al Laitsi Al Isfahani Al Madani(70-169 H).
Belajar qiraah kepada Zaid bin Qaqa Al Qurri Abu Jafar dan Abu Maimunah.
3.
Imam Ashim bin Abi nujub bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi (wafat 127 H). Belajar
qiraah kepada Saad bin Iyasy Asy Syaibani, Abu Abdurrahman Abdullah bin habib
As Salami dan Zir bin Hubaisy.
4.
Imam Hamzah dari Kufah, nama lengkapnya adalahAbu Imarah Hamzah bin Habib Az
Zayyat Al Fardhi Attaimi (156-216 H). Belajar qiraah kepada Imam Ashim Imam As
SabiI Abu Muhammad Sulaiman bin Mahram Al Amari.
5.
Imam Kuzai dari Kufah, nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Hamzah bin
Abdullah bin Fairuz Al Farizi Al Kuzai An Nahwi (119-189 H). Belajar qiraah
pada imam Hamzah dan Imam Syubah bin Iyasy.
6.
Imam Abu Amr dari Basrah, nama lengkapnya adalah Abu Amr Zabban bin Al Ala bin
Ammar Al Basri(70-154 H). Belajar qiraah kepada Al Baghdadi dan Hasan Al Basri.
7.
Imam Abu Amir dari Damaskus, nama lengkapnya adalah Abu nuaim Abu Imran
Abdullah bin Amir Asy SyafiI Alyas Hubi (21-118 H). Belajar qiraah kepada Abu
Darda dan Mughirah bin Syubah.
Qiraah
Asyarah (sepuluh) adalah qiraah tujuh diatas ditambah dengan tiga imam lagi,
yaitu :
8.
Imam Yaqub dari Basrah, nama lengkapnya Abu Muhammad Yaqub bin Ishaq Al Basri
Al Madhrami (wafat 205 H).
9.
Imam Khalaf dari Kufah, nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalib
Al Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).
10.
Imam Jafar dari Madinah, nama lengkapnya Abu Jafar Yasid bin Al Qaqa Al
Makhzumi Al Madani (wafat 230 H).
Qiraah
Arbaa Asyarah (empat belas) adalah qiraah sepuluh diatas ditambah empat imam
lagi, yaitu :
11.
Imam Hasan Al Basri
12.
Imam Ibnu Mahisy
13.
Imam Yahya Al Yazidi
14.
Imam Asy Syambudzi.
Para
ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraah
adalah Imam Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (wafat 224 H). Beliau menulis sebuah
kitab dengan nama Al-Qiraat yang menghimpun 25 orang perawi.
Kriteria
qiraah yang diterima :
1.
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
Bila
salah satu syarat dari ketiga syarat diatas tidak dipenuhi maka qiraat nya
dinyatakan syadz atau tidak sah dan ditolak.
Faedah
perbedaan qiraah :
1.
Mempermudah kabilah-kabilah yang berbeda logat / dialek, tekanan suara dan
bahasanya dengan bahasa Al-Quran.
2.
Membantu dalam penafsiran dan ijtihad, karena perbedaan qiraat itu bisa jadi
menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qiraah lain. Seperti qiraah
Ibnu Masud dalam surah Al Maidah ayat 38 : was-sariqqu wassariqatu faqthau
aidiyahuma, dalam qiraah lain dibaca faqthau aimanahuma.
3.
Menunjukkan terjaga dan terpeliharanya Al-Quran dari penyimpangan, padahal
Al-Quran tersebut mempunyai banyak segi bacaan.
4.
Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, baik dari segi makna atau lafaznya.
Tajwid
Tajwidul
Quran adalah ilmu yang membahas cara membaca atau mengucapkan Al-Quran dengan
baik dan benar, yang meliputi tempat keluarnya (makharijul) huruf, cara
berhenti (waqaf), imalah, idgam, idhar, ikfak, iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.
Adab
membaca Al-Quran :
1.
Bersiwak sebelumnya.
2.
Mempunyai wudhu.
3.
Membaca ditempat yang suci dan bersih.
4.
Membaca Taawudz sebelum mulai membaca Al-Quran
5.
Membaca Basmallah pada permulaan awal surah, kecuali surah At-Taubah, sebab
Basmallah termasuk salah satu ayat Al-Quran.
6.
Membaca dengan khusuk, tenang dan takzim.
7.
Menghadirkan hati dan meresapi maknanya.
8.
Membaca dengan tartil (pelan dan tenang) dan dengan tajwid yang benar.
9.
Membaguskan suara.
10.
Mengeraskan suara bacaan.
Keadaan
suci ketika membaca dan menyentuh Al-Quran
A.
Membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats kecil.
Membaca
Al-Quran dalam keadaan berhadats kecil dengan tanpa menyentuhnya, hukumnya jaiz
(boleh). Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyatakan bahwa Para ulama tidak
berselisih pendapat atau sepakat didalam masalah tersebut.
B.
Membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats besar (junub).
Ibnu
Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid mengatakan : Jumhur ulama
mengharamkannya.
Dalam
Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq terdapat keterangan : Imam Bukhary,
ath-Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Hazm membolehkannya.
C.
Membaca Al-Quran dalam keadaan haid atau nifas
Hadits
Jabir dari Nabi, beliau bersabda :
Perempuan
yang sedang haidh dan nifas tidak (boleh) membaca sesuatu dari Al-Quran (HR
ad-Daraquthni).
Hadits
lain bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan
Ibnu Majah dengan redaksi yang tidak jauh berbeda dengan hadis Jabir diatas.
Dari situ jumhur ulama mengharamkan wanita yang sedang haid atau nifas membaca
Al-Quran.
Imam
Syaukani dalam Nailul Autar berkata : Kedua hadits itu tidak patut untuk
dijadikan hujjah untuk hukum haram. (Kedua hadits tersebut masih
diperselisihkan ke-sahihannya).
D.
Menyentuh Al-Quran dalam keadaan ber hadats kecil dan besar.
Dalil
yang mengharamkan menyentuh Al-Quran dalam keadaan ber hadats kecil maupun
besar masih diperselisihkan dan cenderung tidak kuat.
Dari
segi untuk ke hati-hatian dan dari adab kesopanan sebaiknya ketika menyentuh
dan membaca Al-Quran sedapat mungkin dalam keadaan suci dan punya wudhu.
Menerima
upah dari mengajarkan Al-Quran
Abu
Laits Nashrun bin Muhammad as-Samarqandi dalam kitabnya Bustanul Arifin
menyatakan bahwa mengajarkan Al-Quran itu ada tiga macam :
1.
Mengajarkan Al-Quran ikhlas karena Allah semata dan tidak meminta upah.
2.
Mengajarkan Al-Quran dengan meminta upah.
3.
Mengajarkan Al-Quran dengan tanpa syarat, jika dikasih upah diterima.
Macam
pertama mendapat pahala Allah atas perbuatannya dan yang demikian itu
meneladani perbuatan para nabi.
Macam
kedua diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama dahulu (mutaqaddimun)
menetapkan tidak boleh. Sedangkan sebagian ulama kemudian (mutaakhkhirun)
menetapkan Boleh seperti : Ashnan bin Yusuf, Nashrun bin Yahya dan Abu Nashr
bin Salam.
Macam
ketiga disepakati boleh oleh jumhur ulama.
VIII.
Tema-Tema Dalam Al-Quran
8.1
Amsal (perumpamaan) dalam Al-Quran
Menurut
Ibnu Qayyim, Amtsalul Quran adalah penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang kongkrit.
Macam-macam
Amtsal (perumpamaan) dalam Al-Quran :
1.
Amtsal Musarrahah, ditunjukkan dengan lafazh pemisalan atau sesuatu yang
menunjukkan tasbih.
Contohnya
: QS Al-Baqarah [2] : 17-20 :
Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka ini bisu dan
buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti
orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh
dan kilat. . Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu
2.
Amtsal Kaminah, yaitu tidak ditunjukkan dengan lafazh permisalan.
Contohnya
: QS Al-Baqarah [2] : 68 :
Sapi
betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan dari itu
3.
Amtsal Mursalah, kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasbih
secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai permisalan.
Contoh
: QS [11] : 81 :
Bukankah
subuh itu sudah dekat sebagai perumpamaan waktu yang udah dekat.
Kitab
yang khusus membahas Amtsalul Quran diantaranya Amtsal Al-Quran karangan Ibnu
Qayyim Jauziah.
8.2.
Qasam (sumpah) dalam Al-Quran
Bentuk
sumpah ada dua, yaitu :
1.
Qasam Zahir, yaitu disebutkan kata sumpah, contohnya QS [75] : 1-2 :
Aku
bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri)
2.
Qasam Mudhmar, yaitu tidak disebutkan kata sumpah didalamnya, contohnya QS [3]
: 186 :
Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu
8.3.
Jadal (perdebatan) dalam Al-Quran
Bentuk
dan tujuan perdebatan dalam Al-Quran :
1.
Membungkam lawan, contoh pada QS at-Tur [52] : 35-43 :
Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri ) ?. Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu ?
Ataukah disisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa ?
Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu
(hal-hal yang ghaib) ? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka
mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak
perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki ? Ataukah kamu meninta upah kepada
mereka sehingga mereka dibebani dengan utang ? Apakah ada pada sisi mereka
pengetahuan tentangnya yang lalu mereka menuliskannya ? Ataukah mereka hendak
melakukan tipu daya ? Maka orang-orang kafir itu merekalah yang kena tipu daya.
Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah ? Mahasuci Allah dari apa yang
mereka sebutkan.
2.
Mengambil dalil penciptaan awal untuk argumen hari kebangkitan, contohnya pada
QS at-Tarik [86] : 5-8 :
Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan ? Ia diciptakan dari
air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang
dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa mengembalikannya
(menghidupkan sesudah mati)
3.
Membatalkan pendapat lawan dengan bukti kebenaran kebalikannya. Contohnya pada
QS al-Anam [6] : 91 :
Katakanlah
siapa yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan
petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang
bercerai-berai, kamu perlihatkans ebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian
besarnya; padahal telah diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapk-bapak kamu
tidak mengetahuinya ? Katakan lah : Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan Al-Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya
4.
Menerangkan bahwa sesuatu itu bukanlah alasan hukum, contoh pada QS Al-Anam [6]
: 143-144 :
Delapan
binatang yang berpasangan,sepasang dari domba dan sepasang dari kambing.
Katakanlah : Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua betina,
ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ? Terangkanlah kepadaku dengan
berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar. Dan sepasang dari
unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah : Apakah dua yang jantan yang
diharamkan ataukah dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ?
Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu ? Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim
5.
Mematahkan hujjah lawan, contohnya pada QS Al-Anam [6] : 100-101 :
Dan
mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal
Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu dan mereka berbohong (dengan mengatakan)
: bahwasanya Allah mempunyai anak lai-laki dan perempuan, tanpa berdasar ilmu
pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka
berikan. Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia
tidak mempunyai isteri ? Dia menjadikan segala sesuatu dan Dia mengetahui
segala sesuatu.
8.4.
Qishosh (Kisah) dalam Al-Quran
Macam-macam
kisah dalam Al-Quran :
1.
Kisah Nabi-Nabi terdahulu, seperti Nabi Nuh, Hud, Ibrahim, Musa, Yusuf, dsb.
2.
Kisah person tertentu, seperti Lukman, Dzulqarnain, Ashabul Kahfi, Maryam, dll.
3.
Kisah peristiwa-peristiwa, seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab,
dsb.
IX.
Ushul Tafsir
Ushul
tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Quran yang membahas ilmu-ilmu dan
kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Quran.
Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul quran yang paling penting karena
sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan
penetapan itikad (tauhid, akidah) yang benar.
Ibnu
Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : Jika ada orang
bertanya : Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Quran, maka jawabnya
: Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Apabila ebgkau tidak mendapatkan penafsirannya
pada Al-Quran, maka tafsirkanlah dengan sunnah (hadits), karena sesungguhnya ia
memberi penjelasan terhadap Al-Quran. Apabila tidak engkau temukan tafsirnya
dalam Al-Quran dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada
perkataan-perkataan sahabat Nabi SAW, karena mereka paling mengetahui sesudah
Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al-Quran dan situasi
ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari Nabi.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah serta tidak ada
pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujukperkataan tabiin
A.
Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran
Metode
ini berdasarkan contoh dari Rasulullah. Ketika para sahabat membaca firman
Allah :
Mereka
yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezaliman, mereka
itulah yang mendapat kemananan dan mereka mendapat petunjuk (QS [6] : 82}.
Para
sahabat bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita
orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ? Nabi menjawab : Tidak seperti yang
kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah syirik. Tidakkah enkau membaca
ucapan hamba yang saleh (Luqman) : Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman
yang sangat besar. (QS Luqman [31] : 13).
Firman
Allah dalam QS Al-Fatihah [1] : 6 :
Tunjukilah
kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat
Siapakah
yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat ? maka tafsirnya ada pada ayat
Al-Quran yang lain, yaitu QS An-Nisa [4] : 69 :
Barangsiapa
yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-Nabi, para
Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.
B.
Tafsir Al-Quran dengan sunnah (hadits)
Peran
(hadits) Rasulullah terhadap Al-Quran :
1.
Menjelaskan bagian yang masih global (mujmal).
2.
Mengkhususkan (men-takhsis) yang masih umum (amm).
3.
Menjelaskan arti dan kaitan kata-kata tertentu.
4.
Memberikan ketentuan tambahan dari aturan yang telah ada dalam Al-Quran.
5.
Menjelaskan nasakh (menghapus) ayat.
6.
Menegaskan hukum-hukum yang telah ada.
Firman
Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan
dirikanlah shalat
Perintah
mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu
bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat (HR
Bukhary).
C.
Tafsir Al-Quran dengan perkataan sahabat Nabi (Qaul Sahabi).
Sahabat
nabi adalah generasi terbaik yang beriman dan diridloi Allah, bertemu langsung
dengan Nabi dan ikut menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu
ayat dan keterkaitan turunnya dengan ayat yang lain. Mereka mempunyai kedalaman
pengetahuan dari segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman,
kebenaran manhaj, kuatnya keyakinan, apalagi jika mereka telah melakukan Ijma
dalam suatu penafsiran.
Firman
Allah dalam QS An-Nur [24] : 31 :
Hendaklah
mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh tampak darinya
Ibnu
Abbas menafsirkan yang boleh tampak itu adalah : wajahnya, kedua telapak tangan
dan cincin
D.
Tafsir Al-Quran dengan perkataan tabiin.
Tabiin
bertemu langsung dengan para sahabat Nabi dan mengambil ilmu dari mereka.
Di
Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabiin yang menjadi muridnya
adalah : Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan
Al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah.
Di
Madinah Ubay bin Kaab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang
lain, diantara muridnya dikalangan tabiin adalah : Zaid bin Aslam, Abu Aliyah
dan Muhammad bin Kaab al-Qurazi.
Di
Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Masud, yang dipandang oleh para ulama
sebagai cikal bakal mazhab ahli ray (akal). Tabiin yang menjadi muridnya antara
lain : Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, Amir
Asy-Syabi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Diamah as-Sadusi.
Sufyan
Tsauri berkata : Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu.
Berkata
Ibnu Taimiyah : Syafii, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada
tafsirnya.
Az-Sahabi
berkata : Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya
dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar.
Diantara
tokoh-tokoh tabiin Mujahid merupakan yang paling menonjol dan perkataannya
banyak diikuti mufasirin sesudahnya. Tentunya harus diseleksi sanad-sanad atsar
yang disandarkan kepada mereka, bila sahih maka layak untuk diikuti.
E.
Israiliyyat.
Setelah
beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Kabul Ahbar,
Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari
kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin. Sebagian
mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam kitab tafsir mereka.
Israiliyyat
ini dibagi menjadi tiga :
1.
Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa diterima.
2.
Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka harus ditolak.
3.
Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak ditolak, sebatas dijadikan wacana.
X.
Makkiyah Madaniyah
Pokok-pokok
bahasan ayat-ayat Makki-Madani adalah :
1.
Ayat yang diturunkan di Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).
Perbedaan
Makkiyah dan Madaniyah :
1.
Berdarakan waktu, inilah yang paling populer dikalangan mufasirin bahwa telah
menjadi kesepakatan dikalangan mereka, bahwa surat atau ayat yang diturunkan
sebelum hijrah adalah Makkiyah, sedangkan yang diturunkan sesudah hijrah adalah
Madaniyah. Dalam hal ini tempat bukan menjadi ukuran. Misalnya QS Al-Maidah [5]
: 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah - Mekkah.
2.
Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekkah (meliputi Mina, Arafah,
Hudaybiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah (meliputi Badar dan
Uhud) berarti Madaniyah.
3.
Berdasarkan Khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan kepada
penduduk Mekkah maka Makkiyah. Jika ditujukan kepada penduduk Madinah maka
berarti Madaniyah. Klasifikasi ini bermasalah jika seruan tidak ditujukan
kepada keduanya.
Ayat
Makkiyah dan ciri-cirinya :
1.
Setiap surat yang mengandung sajadah.
2. Setiap surat yang mengandung lafazf kalla.
3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan nas.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi kecuali surat Al-Baqarah
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali dengan huruf muqattaah kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan surat Rad masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada tauhid, celaan terhadap akidah musyrik dan budaya jahiliyah, khabar surga dan peringatan neraka, kisah para Nabi dan umat terdahulu yang dibinasakan, kata-katanya pendek, singkat tapi membekas dan berkesan.
2. Setiap surat yang mengandung lafazf kalla.
3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan nas.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi kecuali surat Al-Baqarah
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali dengan huruf muqattaah kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan surat Rad masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada tauhid, celaan terhadap akidah musyrik dan budaya jahiliyah, khabar surga dan peringatan neraka, kisah para Nabi dan umat terdahulu yang dibinasakan, kata-katanya pendek, singkat tapi membekas dan berkesan.
Ayat
Madaniyah dan ciri-cirinya :
1.
Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi.
2. Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al-Ankabut .
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
4. Surah yang mengandung seruan Ya ayuhalladzina amanu
5. Isinya menjelaskan ibadah, muamalah, hukum dan perundang-undangan, seruan terhadap ahli kitab untuk masuk Islam, menyingkap perilaku orang munafik, ayatnya panjang-panjang dan memantapkan syariat.
2. Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al-Ankabut .
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
4. Surah yang mengandung seruan Ya ayuhalladzina amanu
5. Isinya menjelaskan ibadah, muamalah, hukum dan perundang-undangan, seruan terhadap ahli kitab untuk masuk Islam, menyingkap perilaku orang munafik, ayatnya panjang-panjang dan memantapkan syariat.
Faedah
mengetahui Makkiyah Madaniyah :
1.
Mengetahui tempat dan waktu diturunkannya ayat Al-Quran, untuk membantu
memahami penafsiran yang benar serta analisa nasikh-mansukhnya.
2.
Meresapi gaya bahasa Al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dan tahapan
dakwah.
3.
Memahami sirah nabawiyah dan periode periode dakwahnya.
XI.
Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
Turunnya
ayat Al-Quran dibagi menjadi dua macam :
1.
Tanpa sebab khusus (ibtida).
2. Dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
2. Dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
Untuk
mengetahui asbabun nuzul satu-satunya cara adalah melalui riwayat yang
dinyatakan oleh para sahabat Nabi. Merekalah orang-orang yang mengerti betul
kapan, dimana, kepada siapa dan dalam konteks apa Al-Quran diturunkan. Walaupun
demikian tidak semua riwayat dinyatakan oleh para sahabat mengenai turunnya
Al-Quran tersebut dikonotasikan asbabun nuzul.
Adapun
mengenai riwayat yang berkaitan dengan asbabun nuzul :
1.
Jika ada sahabat yang mengatakan : Sebab turunnya ayat ini adalah .
2.
Jika sahabat menceritakan adanya sebuah pertanyaan yang kemudian turun ayat
sebagai jawaban atau reaksi dari pertanyaan tersebut.
3.
Jika ada indikasi yang kuat (rajih) menunjukkan asbabun nuzul, contoh :
Rasulullah
telah ditanya tentang ini, maka turunlah ayat .
4.
Jika ada pernyataan sahabat : Ayat ini diturunkan dalam konteks ..
Maka
itu bisa menunjukkan asbabun nuzul bisa menunjukkan penjelasan / penafsiran
sahabat terhadap suatu ayat, jadi masih perlu diteliti.
Bila
ada perbedaan riwayat mengenai asababun nuzul suatu ayat maka harus diteliti
untuk dipilih mana yang paling kuat (ditarjih) atau kalau masih mungkin
dikompromikan.
Contoh
study asbabun nuzul :
Firman
Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 195 :
Dan
belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungghuhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Ibnul
Araby mengatakan, ada lima pendapat menafsirkan At-Tahlukah (kebinasaan), yaitu
:
1.
Janganlah engkau meninggalkan pemberian nafkah.
2. Janganlah engkau berjihad tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau menggempur pasukan sedangkan engkau tidak mempunyai kekuatan untuk menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa dari ampunan Allah (karena merasa sudah terlalu banyak dosa).
2. Janganlah engkau berjihad tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau menggempur pasukan sedangkan engkau tidak mempunyai kekuatan untuk menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa dari ampunan Allah (karena merasa sudah terlalu banyak dosa).
Imam
Ath-Thabari mengatakan : Maknanya umum mencakup semuanya, tidak kontradiktif
satu dengan yang lain
Imam
Syaukani mengatakan : Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada
kekhususan sebab (turunnya ayat).
Maka
perlu disampaikan salah satu riwayat (atsar) yang menjelaskan asbabun nuzulnya
ayat tersebut, yaitu riwayat Imam At-Tirmidzi dari Yazid bin Abi Habib dari
Aslam Abi Imran :
Waktu
kami berada di negeri Romawi (Konstantinopel) sekelompok pasukan Romawi
menghadang kami, maka kaum muslimin menyambut mereka dengan pasukan sejumlah
mereka atau lebih banyak. Legiun Mesir dibawah komando Uqbah bin Amir dan
pasukan lain yang dipimpin Fadhalah bin Ubaid. Seorang tentara kaum muslimin
menerjang barisan pasukan Romawi sendirian, melihat itu banyak yang berteriak,
Subhanallah ia menjerumuskan dirinya menuju kebinasaan. Mendengar itu Abu Ayyub
Al-Anshari (salah seorang sahabat Nabi) berkata : Wahai saudara-saudara, kalian
memehami ayat ini dengan penakwilan seperti itu ? Ketahuilah, bahwa ayat ini
turun kepada kami kaum Anshar. Ketika Allah memberikan izzah (kejayaan) kepada
Islam dan memperbanyak penolong-penolongnya, sebagian kami (kaum Anshar) saling
berkata secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui Rasulullah SAW, Ketahuilah,
bahwa harta kita sudah habis dan Allah telah memberikan kejayaan kepada Islam
dan memperbanyak pendukungnya, apakah tidak lebih baik kita untuk konsentrasi
pada harta kita dan kita dapat mengembalikan harta kita yang hilang. Maka Allah
kemudian menurunkan ayat ini (QS Al-Baqarah [2] : 195) kepada NabiNya sebagai
jawaban kepada kami, arti dari At-Tahlukah (kebinasaan) adalah konsentrasi
terhadap harta (niaga, berkebun) dan pemanfaatannya (berfoya-foya) yang
berakibat meninggalkan perang (jihad). Abu Ayyub Al-Anshari senantiasa berjihad
fisabilillah sampai beliau dikebumikan di tanah Romawi (Konstantinopel),
kuburan beliau ada disana. (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad, lafazh diatas
adalah yang terdapat pada riwayat Tirmidzi).
Walaupun
ada kaidah Yang jadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan
sebab paling tidak dari riwayat diatas setidaknya dapat membantu penafsiran
yang lebih spesifik yaitu : Janganlah kamu menghentikan ber infaq membelanjakan
harta dijalan Allah dan janganlah kamu meninggalkan jihad fisabilillah yang
dapat menyebabkan kamu binasa yaitu lemah dan atau dikuasai musuh.
Manfaat
mengetahui asbabun nuzul :
1.
Mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum..
2. Menghilangkan kaburnya pembatas (hashr) atas apa yang lahirnya menunjukkan pembatasan
3. Mengetahui hikmah disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa ayat tersebut diturunkan, dan tidak diterapkan kepada orang lain yang tidak semestinya.
2. Menghilangkan kaburnya pembatas (hashr) atas apa yang lahirnya menunjukkan pembatasan
3. Mengetahui hikmah disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa ayat tersebut diturunkan, dan tidak diterapkan kepada orang lain yang tidak semestinya.
Contoh
: Ketika Marwam bin hakam menjabat Gubernur Hijaz (Mekkah-Madinah) pada
pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan, Marwan berpidato yang intinya mengajak
penduduk Hijaz membaiat Yazid bin Muawiyah sebagai Khalifah sepeninggal
ayahnya, Marwan berkata : ini adalah sunah Abu Bakar dan Umar. Tiba-tiba
Abdurrahman bin Abu Bakar menyahuti : Itu sunnah Kisra (Persia) dan Kaisar
(Romawi) seraya pergi ke rumah Aisyah (kakaknya). Maka Marwan berkata : Itulah
orang yang dikatakan dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu berkata kepada
ibu-bapaknya : Cis, bagi kamu berdua . Perkataan Marwan itu sampai kepada
Aisyah, maka Aisyah membantah dan berkata : Marwan berdusta, Demi Allah, maksud
ayat itu tidaklah demikian, Sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat
itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.
XII.
Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus
Dikalangan
umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam yang berlaku
melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Quran sebagai sumber pedoman.
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Dari sekian
banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun
nuzulnya, karena ayat tersebut berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan
kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.
Dalam
kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang pada kaidah al
ibrahu bi umumil lafzh la bikhususin asbab (yang menjadi pegangan adalah
keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil
berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ibratu bikhususus sabab la bi
umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada
keumuman lafazh).
Apabila
dijumpai ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan suatu hukum, yang konteks
pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu, sedangkan teksnya
bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas pada kasus tersebut,
tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus
khusus tersebut. Inilah maksud kaidah yang menjadi pegangan adalah keumuman
lafazh bukan pada kekhususan sebab.
Dalam
memahami kaidah diatas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa asbabun nuzul
pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang menampilkan contoh untuk
menjelaskan makna redaksi ayat Al-Quran. Sedangkan redaksi yang bersifat umum
itu ruang lingkupnya tidak terbatas pada kasus khusus yang melatarbelakangi
turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.
Pendapat
kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai dengan umumnya
hukum-hukumsyariat dan telah diberlakukan oleh para sahabat dan imam mujtahid.
Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh
penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki asbabun nuzul
tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai berikut :
Dan
orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka, sedang mereka
tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu empat kali
sumpah (dengan sekali bersumpah) demi Allah, bahwa sungguh dia berkata benar.
Ayat
ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu Umayyah kepada
istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum.
Menurut penganut kaidah keumuman lafazh bukan ke khususan sebab dengan demikian
ketentuan hukumnya tidak hanya berlaku bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku
bagi semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi.
Adapun
penganut kaidah kekhususan sebab bukan keumuman lafazh lebih menekankan
perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar
belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)itu, jika qiyas tersebut memenuhi
syarat-syaratnya.
Allah
berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :
Adapun
mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya sebagai hukuman
atas perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah berbuat jahat dan memperbaiki
diri, maka Allah akan menerima tobatnya, Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.
Asbabun
nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan lain-lain yang
bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita mencuri di zaman
Rasulullah, kemudian dipotong tangannya yang kanan. Wanita tersebut bertanya,
Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah ? Maka Allah menurunkan ayat berikutnya
QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat seseorang akan diterima Allah apabila
ia memperbaiki diri dan berbuat baik.
Bila
saklek berpegang pada kaidah keumuman lafazh bukan pada ke khususan sebabmaka
akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa ketetapan
hukum potong tangan bagi seorang pencuri itu berlaku umum disegala situasi dan
tempat, dengan mengabaikan konteks situasi sosial yang menjadi latar belakang
turunnya ayat tersebut, sehingga relevansi ketetapan hukum kurang mendapat
perhatian. Padahal perubahan waktu dan situasi yang meliputi meniscayakan
perubahan hukum. Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat,
seperti ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri
dimasa paceklik, apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah
meninggalkan ayat tersebut, atau ayat disesuaikan dengan situasi kondisi ?
Cara
pandang ekstrim demikian akan muncul bila asbabun nuzul dipahami sebatas
peristiwa dan pelakunya. Apabila ia dipahami secara komprehenship, meliputi
waktu, tempat, situasi dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi turunnya
ayat, kemudian dicoba dicari tujuan-tujuan syariah dan mashlahah mursalah yang
menjadi ruh ayat tersebut, maka akan dapat melahirkan perkembangan dalam
penafsiran yang lebih tepat.
XIII.
Nasikh Mansukh
Nasikh
adalah penghapusan lafazh atau hukum suatu nash syara, sedangkan mansukh adalah
nash syara yang dihapus lafazh atau hukumya.
Firman
Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
Apa
saja ayat-ayat yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau kami datangkan yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
Macam-macam
naskh dalam Al-Quran :
1.
Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat
Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, bahwa telah ada sekelompok
orang sahabat Nabi yang memberitahu dia tentang seorang laki-laki diantara
mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Dia bermaksud untuk membuka catatan
sebuah surah yang sebelumnya dia hafal. Ternyata dia tidak menjumpai tulisan
surah itu kecuali hanya tulisan Bismillahirrahmanirrahim. Maka pada keesokan
harinya dia datang ke rumah Nabi untuk menanyakan hal tersebut. Ternyata ada
juga beberapa orang yang datang kepada Nabi sehingga mereka berkumpul menjadi
beberapa orang. Mereka saling menanyakan antara yang satu dengan yang lain.
Mereka juga saling menceritakan pengalaman yang dialami masing-masing tentang
tulisan surat yang tiba-tiba hilang. Beberapa saat kemudian Nabi menerima
mereka dan mendengarkan penuturan mereka. Kemudian Nabi terdiam sejenak,
setelah itu beliau bersabda : Tadi malam surat tersebut telah di nasakh. Maka
hafalan surah itupun dinasakh dari dada mereka (yang telah hafal) dan juga dari
benda apapun yang mengabadikan rasm (tulisan) surah tersebut.
Riwayat
dari Ibnu Masud : Telah diturunkan sebuah ayat Al-Quran kepada Rasulullah saw.
sehingga saya mencatatnya didalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata
permukaan mushaf itu hanya berwarna putih (hilang tulisannya), maka saya
menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata beliau bersabda : Tidakkah kamu
tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat (dinasakh) tadi malam.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah : Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat Lima susuan yang maklum. Jadi lafazh Sepuluh susuan telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh Lima susuan. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah : Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat Lima susuan yang maklum. Jadi lafazh Sepuluh susuan telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh Lima susuan. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
2.
Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.
Yaitu
lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang
hukum rajam bagi pezina muhson.
Riwayat
dari Said bin Al-Musayyab : bahwa Umar bin Khattab telah berkata : Mengenai
ayat tentang rajam, maka janganlah sampai kalian tidak mengetahuinya, karena
sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerapkan hukuman rajam, begitu juga dengan
kami, kami telah mempraktekkannya. Ayat tentang rajam itu benar-benar telah
diturunkan. Ayat rajam yang kami baca, Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan
(maksudnya yang sudah menikah) jika sampai melakukan perbuatan zina, maka
rajamlah keduanya dengan pasti. Kalau bukan karena khawatir orang-orang akan
mengatakan Umar telah menambahkan sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti saya
telah menulis ayat itu dengan tanganku sendiri (dalam mushaf Al-Quran).
3.
Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu
lafazh ayat yang dihapus (mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya
telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya (nasikh). Ulama terdahulu (abad 1
s.d. 3 H) memperluas konsep nasakh hingga mencakup hal hal :
a.
Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Ulama
Mutaakhkhirin mempersempit pengertian nasakh hanya bila meghapuskan hukum yang
terdahulu atau telah berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu sehingga
ketentuan yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan terakhir. Para ulama masih
memperselisihkan adakah ayat Al-Quran yang dinasakh hukumnya sedangkan
lafazhnya masih ada dalam mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu : Abu
Muslim al-Ashfani, Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll. Kelompok yang
menolak adanya nasakh hukum, mereka mentawilkan kata ayat dalam QS Al-baqarah :
106 dengan mukjizat jadi yang di nasakh adalah mukjizat bukan ayat Al-Quran.
Adapun
kelompok yang menetapkan adanya nasakh, menafsirkan kata ayat dengan zahirnya,
diantaranya Imam Syafii, Imam Syaukani dan As-Suyuthi. Mengenai ayat-ayat yang
dinasakh, kelompok yang menetapkan adanya nasakh juga berbeda pendapat.
As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Quran yang dinasakh.
Pembagian
Naskh
1.
Naskh Al-Quran dengan Al-Quran. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang
menetapkan adanya naskh
2.
Naskh Al-Quran dengan hadits
a.
Naskh Al-Quran dengan hadits mutawatir.
Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b.
Naskh Al- dengan hadits Quran ahad.
Imam
Syafii, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkan, berdasarkan ayat Apa
saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya (QS Al-Baqarah [2] :
106).
3.
Naskh hadits dengan Al-Quran
Jumhur
ulama sepakat membolehkan, contoh Arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan
dalam sunah dinasakh oleh ayat Al-Quran, QS Al-Baqarah [2] : 144 : Maka
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram
4.
Naskh hadits dengan hadits
a.
Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b.
Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c.
Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d.
Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga
bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5.
Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a.
Nasakh tanpa pengganti, contoh :
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan
ini dinasakh oleh ayat :
Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat. (QS
Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
Dihalalkan
bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu (QS
Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat
ini menghapus firman Allah :
sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena
maksud ayat QS Al-Baqarah [2] : 183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan
puasa orang-orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila
mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c.
Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis
menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
Maka
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.. (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d.
Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam
ayat :
Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat
orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka
telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai meninggal (QS An-Nisa [4] : 15).
Ayat
tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina muhson (sudah
pernah menikah) atau dera seratus kali bagi pezina yang belum pernah menikah.
Contoh-contoh
naskh.
As-Suyuthi
menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1.
QS Al-Baqarah [2] : 144 : Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram
Ayat
ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2.
QS Al-Baqarah [2] : 180 : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
Kewajiban
berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum waris dan diperkuat
oleh hadits. Sesungghuhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan warisnya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris
3.
QS Al-Baqarah [2] : 284 : Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau
kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu..
Ayat
ini meng isyaratkan Allah akan membuat perhitungan terhadap perbuatan dan
lintasan hati manusia. Namun pertanggungjawaban lintasan hati ini dinasakh oleh
QS Al-Baqarah [2] : 286 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.
4.
QS Al-Anfal [8] : 65 : Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh
Ayat
ini melarang kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh kurang dari
sepuluh kali lipat, namun ayat ini di nasakh dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang. Ayat ini membolehkan kaum muslimin mundur dari
peperangan bila jumlah musuh lebih dari dua kali lipat.
Namun
kelompok yang tidak mengakui adanya nask hukum dalam mushaf Al-Quran tetap
memberikan argumentasi bahwa ayat-ayat tersebut bukan nasakh, melainkan hanya
mentahsis atau bisa dikompromikan atau berlaku menurut masa tertentu atau punya
sebab berbeda sehingga hukumnya berbeda.
Hikmah
adanya Nasakh :
1.
Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.
XIV.
Muhkam (jelas) Mutasyabih (samar)
Ayat
Al-Quran yang muhkam artinya : jelas dan mudah diketahui maknanya. Sedangkan
ayat Al-Quran yang mutasyabih artinya : samar dan tidak mudah diketahui
maknanya.
Para
ulama memberikan contoh ayat-ayat yang muhkam dengan ayat-ayat yang nasikh
(menghapus) dan masih berlaku hukumnya, ayat-ayat tentang halal-haram, akidah
(rukun iman), tauhid, hudud (hukuman), kewajiban (ibadah, rukun Islam), janji
(pahala, ampunan, surga) dan ancaman (dosa, laknat, azab neraka), itulah
pokok-pokok agama (ushul) karena ayat-ayatnya muhkam (jelas dan tidak
diperselisihkan) maka menjadi perkara yang qothi (pasti).
Sedangkan
contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1.
Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah
dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat
Abu Ubaid, dari Anas : Khalifah Umar pernah membaca ayat, wafakihatan wa abban
Dan buah-buahan dan rumput-rumputan (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata :
Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud al-ab
?, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : Hai Umar, sesungguhnya apa
yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri.
Riwayat
lain dari Muhammad bin Sad dari Anas : Umar berkata kepada dirinya sendiri :
Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui.
3.
Ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk,
contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam),
Maha Hidup, dsb.
4.
Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh :
Allah bersemayam diatas Arsy, Allah turun ke langit dunia, Allah melempar, dan
datang lah Tuhanmu, dsb
5.
Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa
kecuali wajahNya, tangan Allah diatas tangan mereka, dsb
6.
Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat,
alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7.
Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqattaah).
Menurut
Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Quran itu ada empat macam :
1.
Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4.
Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Ayat-ayat
mutasyabih termasuk dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu ada yang diketahui
tafsirnya oleh ulama yang mendalam ilmunya dan ada yang hanya diketahui
tafsirnya oleh Allah saja. Ayat-ayat mutasyabih ini hanya sebagian kecil saja
dari seluruh Al-Quran, sebagian besar ayat-ayat Al-Quran adalah muhkam.
Firman
Allah dalam QS Ali-Imran [3] : 7
Dialah
yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang
merupakan induk (agama) dan lainnya mutasayabih. Adapun orang-orang yang dalam
harinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari tawilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui tawilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya
berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami.
Imam
Malik pernah ditanya tentang makna istiwa (bersemayam) nya Allah diatas Arsy,
maka beliau menjawab : maksud istiwa(bersemayam) telah kita ketahui, namun
mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah
wajib dan menanyakan bagaimana caranya adalah bidah.
Hikmah
adanya ayat Mutasyabih :
1.
Menegaskan kemukjizatan Al-Quran, yaitu dalam balagah dan bayan.
2. Mendorong umat untuk menuntut ilmu yang banyak dan mendalam.
3. Merangsang penggunaan kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin, apakah ada yang cenderung mengada-ada mencari tawilnya atas dasar hawa nafsu.
2. Mendorong umat untuk menuntut ilmu yang banyak dan mendalam.
3. Merangsang penggunaan kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin, apakah ada yang cenderung mengada-ada mencari tawilnya atas dasar hawa nafsu.
XV.
Kaidah Amr (perintah) Nahi (larangan)
Amr
(perintah)
Amr
berarti perintah atau suruhan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum
lafazh amr :
1.
Asal dari suatu perintah itu adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila terdapat petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik qarinah tersebut berupa susunan bahasa atau tuntutan maknanya secara keseluruhan maupun karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila terdapat petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik qarinah tersebut berupa susunan bahasa atau tuntutan maknanya secara keseluruhan maupun karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
3.
Asal dari suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali bila
terdapat dalil yang menunjukkan kebalikannya. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 :
Dan jika kamu junub, maka mandilah. Perintah mandi berlaku berulang bila
penyebabnya yaitu junub berulang.
Bentuk
bentuk amr :
1.
Menggunakan kata kerja perintah (fiil amr), seperti pada QS [4] : 4 :
Dan berikanlah kepada perempuan (Dalam perkawinan) mas kawinnya dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati.
Dan berikanlah kepada perempuan (Dalam perkawinan) mas kawinnya dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati.
2.
Menggunakan fiil mudhari dengan didahului lamul-amr, seperti dalam QS [3] : 104
:
Hendaklah
diantara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh
orang berbuat yang maruf dan melarang perbuatan mengkar. Mereka inilah orang
yang beruntung.
3.
Bentuk isim fiil amr, seperti pada QS [5] : 105 :
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
4.
Masdar pengganti fiil, seperti pada QS [2] : 83 :
Dan
ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil : tidak akan menyembah
selain Allah, berbuat baik kepada orangtua dan kerabat, kepada anak yatim dan
orang miskin dan berbudi bahasa kepada semua orang; dirikanlah shalat dan
tunaikan zakat. Tetapi kemudian kamu berbalik, kecuali sebagian kecil diantara
kamu dan kamu (masih juga) menentang.
5.
Kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan, seperti pada QS
[2] : 228 :
Perempuan-perempuan
yang dicerai harus menunggu tigak kali quru .
6.
Kalimat yang mengandung kata amar, fardhu, kutiba, ala yang berarti perintah.
Kategori
amr :
1.
Amr menunjukkan wajib, seperti pada QS [4] : 77 :
Dirikanlah
shalat dan keluarkanlah zakat.
Ayat
tersebut menunjukkan shalat adalah wajib dan yang meninggalkannya adalah dosa.
2.
Amr menunjukkan sunah, seperti pada QS [24] : 33 :
Buatlah
perjanjian yang demikian, jika kamu ketahui mereka baik.
Ayat
ini menunjukkan perintah tanpa kewajiban, tetapi baik sekali bila dikerjakan.
3.
Amr tidak menghendaki pengulangan pelaksanaan, seperti pada QS [2] : 196 :
Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.
Ayat
ini mengandung pengertian bahwa mengerjakan haji dan umrah itu diwajibkan satu
kali saja seumur hidup.
4.
Amr menghendaki pengulangan, seperti pada QS [5] : 6 :
Dan
bila kamu sedang dalam keadaan junub maka bersihkan dengan mandi penuh.
5.
Amr tidak menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 184 :
Jika
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (berpuasalah) sebanyak
hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.
6.
Amr menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 148 :
Masing-masing
mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah kamu dalam
mengejar kebaikan.
7.
Perintah yang datang setelah larangan bermakna mubah, seperti pada QS [5] : 2 :
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu langgar lambang-lambang Allah. Tetapi
bila kamu selesai menunaikan ibadah haji, berburulah.
B.
Nahi (larangan)
Nahi
berarti larangan atau cegahan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum
lafazh nahi :
1.
Asal dalam larangan adalah menunjukkan haram.
2.
Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada petunjuk (qarinah) yang
menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik qarinahnya itu berupa
tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya, maupundari nash lain
yang menunjukkan tuntutan terhadap perpalingan makna itu.
3.
Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang dilarang
itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat kekal. Para ahli ushul
menyebutkan : Menurut asalnya nahi yang mutlak itu menuntut kesinambungan untuk
semua masa.
Bentuk-bentuk
Nahi :
1.
Fiil nahi, seperti pada QS [17] : 31-34 :
Janganlah
kamu bunuh anak-anakmu karena takut kekurangan Dan jangalah kamu mendekati
perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji dan jalan yang buruk. Dan janganlah
kamu menghilangkan nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali demi kebenaran
Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya, sampai ia
mencapai umur dewasa.
2.
Menggunakan lafazh utruk (biarkanlah), seperti pada QS [44] : 24 :
Dan
biarkanlah laut terbelah, sebab mereka tentara yang akan ditenggelamkan.
3.
Menggunakan lafazh da (tinggalkanlah), seperti pada QS [33] : 48 :
Dan
janganlah kau turuti orang-orang kafir dan kaum munafik, tinggalkanlah
(janganlah kau hiraukan) gangguan mereka; tetapi tawakallah kepada Allah; sebab
cukuplah Allah sebagai pelindung.
4.
Menggunakah lafazh naha (dilarang), seperti pada QS [59] : 7 :
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang tinggalkanlah.
Bertaqwalah kepada Allah; Allah sangat keras dalam menjatuhkan hukuman.
5.
Menggunakan lafazh harrama (diharamkan), seperti pada QS [7] : 33 :
Katakanlah,
Tuhanku mengharamkan segala perbuatan keji, yang terbuka atau tersembunyi, dosa
dan pelanggaran hak orang tanpa alasan; mempersekutukan Allah, padahal Ia tak
memberi kekuasaan untuk itu, dan berkata tentang Allah yang tidak kamu ketahui.
Ragam
pemakaian nahi beserta makna dan tujuannya :
1.
Larangan yang menunjukkan haram, seperti pada QS [17] : 32
Dan
janganlah kamu mendekati zina.
2.
Larangan yang menunjukkan makruh, seperti pada HR Tirmidzi :
Janganlah
kamu shalat dikandang unta (HR Tirmidzi).
3.
Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya, seperti pada QS
[31] : 13 :
Ingatlah
ketika Luqman berkata kepada putranya sambil ia memberi pelajaran, Hai anakku !
Janganlah menyekutukan Allah; menyekutukan Allah sungguh suatu kedzaliman yang
besar.
4.
Nahi bermakna doa, seperti pada QS [2] : 286 :
Ya
Tuhan kami, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan;
Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban berat seperti yang
Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya Tuhan kami, janganlah
memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul.
5.
Nahi bermakna bimbingan, seperti pada QS [5] : 101 :
Hai
orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan
menyusahkan kamu.
6.
Nahi menegaskan keputusasaan, seperti pada QS [66] : 7 :
Hai
orang-orang kafir! Janganlah kamu berdalih hari ini! Balasan yang akan kamu
peroleh hanyalah atas apa yang kamu kerjakan.
7.
Nahi untuk menenteramkan, seperti pada QS [9] : 40 :
Jangan sedih, Allah beserta kita.
Jangan sedih, Allah beserta kita.
XVI.
Kaidah Wujuh (banyak makna) Nazhair (satu makna)
Wujuh
adalah satu kata yang mempunyai banyak makna, sedangkan nazhair adalah kata
yang hanya mempunyai satu makna yang tetap.
Muqatil
bin Sulaiman meriwayatkan yang disandarkan kepada Nabi : Seseorang tidak akan
benar-benar paham Al-Quran sebelum dia mengetahui makna yang beragam (wujuh)
dari Al-Quran.
Ibnu
Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid, dari Ayyub,
dari Abu Qalabah, dari Abu Darda : Sesungguhnya engkau tidak akan benar-benar
paham Al-Quran sebelum engkau mengetahui makna-makna Al-Quran dalam berbagai
ragam.
Diantara
lafazh-lafazh yang termasuk dalam kategori wujuh adalah kata al-huda.
As-Suyuthi mengemukakan tujuh belas arti kata tersebut dalam berbagai tempat
sebagai berikut :
1.
Tsabat, tetap teguh
Teguhkanlah
kami pada jalan yang lurus (QS Al-Fatihah [1] :6).
2.
Al-bayan, menjelaskan
Merekalah
yang berada dalam penjelasan tuhan dan mereka yang akan berhasil (QS Al-Baqarah
[2] : 5).
3.
Ad-dien, agama
Katakanlah,
Agama yang benar ialah agama . (QS [3] : 73).
4.
Iman
Dan
Allah menambah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniai iman (QS [19] :
76).
5.
Ad Dua, seruan
Dan
orang-orang kafir berkata : Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari
Tuhannya ? Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan
ada seorang penyeru (QS [13] : 7).
6.
Rasul dan kitab
Kami
berfirman : Turunlah kamu sekalian dari sini. Maka apabila datang kepadamu
Rasul dan kitab Aku, siapapun mengikuti Rasul dan kitab-Ku tak ada kekhawatiran
dan tak perlu sedih (QS [2] : 38).
7.
Al-Marifah, pengetahuan
Dan
dia memancangkan diatas bumi gunung-gunung supaya tidak menggoyangkan kamu dan
sungai-sungai serta lorong-lorong supaya kamu mendapat petunjuk. Dan
rambu-rambu dan dengan bintang-bintang mereka mengetahui (QS [2] : 159).
8.
Nabi Muhammad
Mereka
menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang kami turunkan
setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah dan
laknat mereka yang berhak melaknat. (QS [2] : 159).
9.
Al-Quran
Itu
hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri, kamu dan moyang kamu, Allah tidak
memberi kekuasaan itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan dan yang
menyenangkan nafsu sendiri. Padahal Al-Quran dari Tuhan sudah sampai kepada
mereka. (QS [53] : 23).
10. Taurat
10. Taurat
Dahulu
telah kami berikan kepada Musa Taurat. Dan kami wariskan Kitab itu kepada Bani
Israil. (QS [40] : 53).
11.
Al-Istirja, mohon perlindungan
Mereka
berkata, bila ditimpa musibah Inna lillahi wa inna ilaihirojiun Kami milik
Allah dan kepadaNya pasti kami kembali. Mereka itulah yang mendapat karunia dan
rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon perlindungan (QS Al-Baqarah
[2] : 156-157).
12.
Al Hujjah, argumen
Tidakkah
tergambar olehmu orang yang berdebat dengan Ibrahim tentang Tuhannya karena ia
telah diberi kekuasaan ? Ibrahim berkata , Tuhanku Yang menghidupkan dan Yang
mematikan. Ia berkata : Akulah yang membuat hidup dan membuat mati. Ibrahim
berkata, Tapi Allah Yang menyebabkan matahari terbit dari Timur. Terbitkanlah
kalau begitu, dari Barat. Orang yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberi
argumen kepada orang-orang yang zalim. (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).
13.
Tauhid
Mereka
berkata, Jika kami akan mengikuti ajaran tauhid bersamamu, tentulah kami akan
diusir dari tanah kami. (QS [28] : 57).
14.
Sunnah, pedoman perilaku
Ataukah
sudah Kami beri kitab kepada mereka sebelum itu, lalu mereka jadikan pegangan ?
Bahkan mereka berkata, Kami sudah melihat leluhur kami sudat menganut suatu
agama, dan kami berpedoman pada mereka. (QS [43] : 21-22).
15.
Al-ishlah, pembenaran
Itulah
supaya ia tahu bahwa aku tidak mengkhianatinya ketika ia tak ada, dan Allah
tidak membenarkan tipu muslihat para pengkhianat. (QS [12] : 52)
16.
Ilham
Ia
berkata : Tuhan kami ialah Yang telah memberikan setiap suatu (ciptaan) bentuk
dan kodratnya, kemudian mengilhaminya. (QS [20] : 50)
17.
Taubat
Dan
tetapkanlah untuk kami kehidupan yang baik, didunia dan diakhirat. Sungguh kami
bertobat kepadaMu, Ia berfirman, Azabku akan menimpa siapa-siapa yang
Kukehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Dan akan Kutetapkan
(rahmatKu) untuk mereka yang bertaqwa dan yang mengeluarkan zakat serta mereka
yang beriman kepada ayat-ayat kami. (QS [7] : 156)
Kata-kata
lain yang termasuk wujuh adalah su, shalat, rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din,
dua.
Sedangkan
contoh nazhair adalah kata al-barru yang selalu bermakna darat dan al-bahru
yang selalu bermakna laut. Misalnya dalam ayat :
1.
QS Al-Anam [6] : 59
Dia
mengetahui apa yang didarat dan dilaut.
2.
QS Yunus [10] : 22
Dialah
yang memungkinkan kamu menjelajahi daratan dan lautan.
3.
QS Al-Isra [17] : 70
Kami
telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan
sarana angkutan di darat dan di laut.
Fenomena
wujuh dalam Al-Quran merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca
Al-Quran akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajah nya dari
perpekstif dan latar belakang ia membacanya, seperti permukaan berlian yang
memberikan cahaya yang beragam dari semua sudut pandang yang berbeda-beda.
XVII.
Kaidah Isim (kata benda) - Fiil (kata kerja)
Menurut
As Suyuthi, isim menunjukkan tetapnya keadaan dan kelangsungannya. Sedangkan
fiil menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan.
Masing-masing kata tersebut mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dipertukarkan
satu dengan yang lain untuk tetap menghadirkan makna yang sama. Hakikat makna
yang dikandung ayat berbeda, dengan perkataan kata yang digunakan.
A.
Beberapa contoh ayat yang menggunakan isim :
1.
QS Al-Kahfi [18] : 18 :
Engkau
mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami bolak-balikkan mereka ke
kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan kedua kaki depannya diambang
pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu engkau akan berbalik lari dari mereka
dan penuh rasa takut.
Ayat
tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur
didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur.
Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata benda), tidak dengan
fiil (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya
keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2.
QS Al Hujurat [49] : 15 :
Orang-orang
yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan tak pernah ragu
berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka itulah orang-orang yang
tulus hati.
Iman
adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan
menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan
isim muminun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan
berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan untuk
orang yang keberadadannya senantiasa diliputi iman.
B.
Beberapa contoh ayat yang menggunakan fiil :
1.
QS Al-Baqarah [2] : 274 :
Mereka
yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau
terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak
perlu sedih.
Kata
yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai
tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal.
Manakala seseorang melakukan pekerjaan ituia berolah pahala dan jika
meninggalkan ia tidak memperolah pahala.
2.
QS Asy-Syuara [26] : 78-82 :
Yang
menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku makan dan
minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang akan membuatku
mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni
dosa-dosaku pada hari perhitungan.
Isim
khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan selesainya penciptaan
pada waktu yang lampau, sedang fiil yahdi dan lain-lainnya dalam rangkaian ayat
tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu
berangsur-angsur hingga sekarang.
XVIII.
Kaidah Mufrad (tunggal) Jamak (berbilang)
Mufrad
adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang menunjukkan satu atau tunggal.
Sedangkan Jamak adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang berarti lebih dari
satu atau banyak.
Kaidah
Mufrad-Jamak dalam Al-Quran :
1.
Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) misalnya : ardh
(bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).
2.
Kata-kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya : lubb-albab
(orang orang yang memikirkan), kub-akwab (piala-piala).
3.
Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks
yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain : Sama samawat, rih riyah, sabil
subul, maghrib magharib, masyriq masyariq.
Kata
sama dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan
betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud adalah arah atas,
sebagai lawan bawah.
Kata
rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab
dan digunakan dalam bentuk jamak jika digunakan dalam konteks rahmat.
Kata
sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam konteks kebenaran
dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan.
Kata
masyriq dan maghrib dimufradkan untuk menunjukkan arah, di jamak kan jika
menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni musim dingin dan
musim panas. Dijamakkan karena keduanya adalah tempat terbit dan tempat
terbenam setiap hari.
XIX.
Kaidah Dhamir (Kata Ganti), Tadzkir (penunjuk laki-laki) dan Tanits (penunjuk
perempuan).
Dhamir
(kata ganti) berfungsi untuk menghindari pemborosan kata-kata, mempersingkat
perkataan, tanpa mengubah maknanya, contohnya :
Sungguh,
laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, tabah, laki-laki
dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka
Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar (QS 33 : 35)
kata
hum yaitu mereka pada akhir ayat menggantikan 25 kata yang disebutkan
sebelumnya. Dhamir mempunyai kata yang digantikan yang disebut isim zhahir
(kata yang disebutkan dengan jelas) dan isim marji (tempat kembali).
Dhamir
terdiri atas tiga macam :
1.
Kata ganti orang pertama, menggunakan dhamir mutakallim.
2. Kata ganti orang kedua, menggunakan dhamir mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga, menggunakan dhamir ghaib.
2. Kata ganti orang kedua, menggunakan dhamir mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga, menggunakan dhamir ghaib.
Tadzkir
(penunjuk laki-laki) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis gender laki-laki
(mudzakkar) dan tanits (penunjuk perempuan) adalah kata-kata yang menunjukkan
jenis gender perempuan (muannats). Untuk mendalami masalah ini silahkan
mempelajari ilmu nahwu (gramatika) Bahasa Arab.
XX.
Kaidah Tarif (Isim Makrifah) dan Tankir (Isim Nakirah)
Isim
Makrifah adalah kata benda tertentu, mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1.
Tarif dengan isim dhamir (kata ganti) untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 :
35 : Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang
taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah,
bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.
2.
Tarif dengan nama diri berfungsi untuk beberapa maksud :
a.
Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebut namanya
yang khas, contoh QS 112 : 1-2 : Katakanlah, Dia lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah Yang Kekal, Yang Mutlak
b.
Memuliakan atau mengungkap identitas, contoh QS 48 : 29 : Muhammad adalah
utusan Allah, orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, kasih-sayang antara sesamanya, akan kau lihat mereka rukuk dan sujud
(dalam shalat), mencari karunia Allah dan ridhaNya.
c.
Menghinakan atau meremehkan, contoh QS 111 : 1 : Binasalah kedua tangan Abu
Lahab, binasalah dia.
3.
Tarif dengan isim isyarah (kata penunjuk), untuk maksud tertentu
a.
Menjelaskan yang ditunjuk itu dekat, dengan kata penunjuk hadza atau hadzihi,
contoh QS 31 : 11
b.
Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jauh, dengan kata penunjuk :
dzalika, tilka, ulaika.
c.
Menjelaskan keagungan yang ditunjuk dengan menggunakan kata penunjuk jauh :
dzalika, contoh QS 2 : 2.
d.
Menghinakan dengan kata penunjuk dekat, contoh QS : 29 : 64.
4.
Tarif dengan isim maushul karena beberapa alasan :
a.
Karena tidak disukai penyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkan, contoh
QS 46 : 17
b.
Untuk menunjukkan umum, contoh QS 29: 69.
c.
Untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 69.
5.
Tarif dengan alif dan lam, antara lain berfungsi untuk :
a.
Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui, karena sudah disebutkan sebelumnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya.
6.
Tarif dengan idhafah, antara lain berfungsi sebagai berikut :
a.
Memuliakan, contoh QS 15 : 42.
b. Menunjuk pengertian umum, contoh QS 35 : 3.
b. Menunjuk pengertian umum, contoh QS 35 : 3.
Isim
Nakirah adalah kata benda tak tentu, digunakan untuk beberapa fungsi, antara
lain sbb :
1.
Menunjukkan tunggal, contoh QS Yasin [28] : 20 : Dan seorang laki-laki datang
tergesa-gesa dari ujung kota. Kata rajulun maksudnya seorang laki-laki.
2.
Menunjukkan ragam-macam, contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 : Sungguh akan kau
dapati merekalah orang yang paling serakah ingin hidup. Yaitu ragam kehidupan,
mencari tambahan untuk masa depan.
3.
Menunjukkan tunggal dan ragam sekaligus, contoh QS An-Nur [24] : 45 : Allah
menciptakan semua yang melata dari air. Maksudnya, setiap macam dari segala
macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu)
binatang itu berasal dari satu nutfah.
4.
Mengagungkan atau memuliakan, contoh QS Al-Baqarah [2] : 279 : Jika kamu
lakukan, ketahuilah, suatu pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya. Kata harb
berarti peperangan yang dahsyat .
5.
Menunjukkan jumlah yang banyak, contoh QS Asy-Syuara [26] : 42 : Setelah
ahli-ahli sihir datang, mereka berkata kepada Firaun, Tentu kami akan mendapat
imbalan bila kami yang menang ?. Kata ajran ialah pahala yang banyak.
6.
Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus, contoh QS Fatir [35] : 4:
Kalau mereka mendustakan engkau, Rasul-Rasul sebelummu pun sudah didustakan dan
kepada Allah segala persoalan dikembalikan. Maksudnya, Rasul-Rasul yang mulia
dan banyak jumlahnya.
7.
Untuk merendahkan, contoh QS Abasa [80] : 18 : Dari bahan apakah Ia menciptakan
? Dari setetes air mani. Ia menciptakan, lalu membentuknya menurut ukuran.
8.
Menyatakan jumlah yang sedikit, contoh QS At-Taubah [9] : 72 : Allah
menjanjikan kepada orang yang beriman, laki-laki dan perempuan (yaitu)
taman-taman surga . Dan keridlaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang
gemilang. Artinya ridla Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga
yang ada, kerena merupakan pangkal kebahagiaan.
9.
Menunjukkan pengertian umum jika nakirah tersebut mengandung unsur nafyi atau
nahyi atau syarth atau istifham, contoh QS 82 : 19 : Hari ketika tak seorang
pribadi pun berkuasa atas pribadi yang lain dan segala urusan hari itu hanyalah
semata pada Allah. Kata nafs dalam ayat tersebut bersifat umum, siapapun
orangnya sama, tidak dapat membantu orang lain.
XXI.
Kaidah Hadzful Maful (membuang obyek kalimat)
Kaidah
hadzful maful adalah pembuangan obyek dalam kalimat. Apabila suatu kata kerja
(fiil) atau yang mengandung arti kata kerja, dihubungkan dengan suatu obyek
tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata yang berkaitan. Akan
tetapi jika obyek kata itu ditinggalkan (tidak disebutkan) maka kata tersebut
mengandung pengertian yang lebih luas dan umum.
Contoh-contoh
:
1.
QS Al-alaq [96] : 1-3
Bacalah
dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Dalam
ayat diatas setelah kata Bacalah tidak ditemukan obyek (maful). Padahal
lazimnya kata kerja memerlukan obyek atau sasaran yang dikenai pekerjaan.
Suatu
kaidah dari hadzful maful adalah bahwa satu kata yang dalam susunan redaksinya
tidak menyebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dalam contoh diatas,
kata bacalah mencakup segala yang dapat dibaca baik yang tersirat (tulisan)
maupun yang tersurat (tanda-tanda/gejala alam semesta).
2.
QS An Nahl [16] : 43
Maka
bertanyalah kepada ahl dzikr (ahli ilmu).
Kata
bertanyalah diatas tidak dijelaskan obyeknya, bertanya tentang apa. Jadi
diperintahkan bertanya mengenai segala sesuatu yang belum diketahui.
XXII.
Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman)
Istifham
adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang belum diketahui.
Kata
tanya (adatul istifham) terbagi dalam dua kategori :
a.
Huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.
Huruf
hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya
memerlukan ya atau tidak, seperti pada QS [5] : 116 :
Dan
ingatlah ketika Allah berfirman, Hai Isa putra Maryam! Engkaukah yang berkata
kepada orang : Sembahlah aku dan ibuku sebagai tuhan selain Allah ? Ia berkata,
Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku.
Lafazh
hal, adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : Ya atau
tidak, seperti pada QS [76] : 1 :
Bukankah
sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan
apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut ?.
b.
Isim istifham, yaitu semua kata tanya selain yang nomor 1, yaitu : apa (ma),
siapa (man), bagaimana (kaifa), kapan (mata), bilamana (ayyana), dari mana
(anna), berapa (kam), dimana (aina), apa, siapa (ayyu)
a.
Lafazh ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal, seperti
pada QS [74] : 42-43 :
Apa
yangmembawa kamu kedalam api neraka ? Mereka berkata , Kami tidak termasuk
golongan orang yang shalat.
b.
Lafazh man (siapa), untuk menanyakan makhluk berakal, seperti pada QS [2] : 245
:
Siapakah
yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipat
gandakan gantinya dengan sebanyak-banyaknya? Allah akan memberi (kepadamu)
kesempitan dan kelapangan (rejeki), dan kepadaNya kamu dikembalikan.
c.
Lafazh mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun
yang akan datang, seperti pada QS [2] : 241 :
Ataukah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga tanpa suatu cobaan seperti dialami
mereka sebelum kamu? Mereka mengalami penderitaan dan malapetaka dan jiwa
mereka begitu tergoncang, sehingga Rasul pun berkata bersama orang-orang yang
beriman , Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ya, sungguh pertolongan Allah
sudah dekat!
d.
Lafazh ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan
waktu mendatang, seperti pada QS [75] : 6 :
Ia
bertanya, Bilakah hari kiamat itu ?
e.
Lafazh kaifa (bagaimana), untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti pada QS [3]
: 101 :
Dan
bagaimana kamu akan mengingkari padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu
dan ditengah-tengah kamu pun ada Rasul-Nya?
f.
Lafazh anna (dari mana), untuk menanyakan asal-usul, seperti pada QS [19] : 8 :
Dia
berkata, Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak, sedang istriku mandul
dan aku sudah dalam usia renta ?
g.
Lafazh kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan, seperti
pada QS [2] : 259 :
Atau
seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai ke
atap-atapnya, ia berkata, Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini setelah
mati ? lalu Allah membuat orang itu mati selama seratus tahun kemudian
membangkitkannya kembali. Lalu Allah bertanya, Berapa lama kamu tinggal disini
? Ia menjawab, Saya tinggal disini sehari atau setengah hari. Allah berfirman,
Tidak, bahkan seratus tahun.
h.
Lafazh aina (dimana), digunakan untuk menanyakan tempat, seperti pada QS [81] :
26 :
Maka
kemanakah kamu akan pergi ?
i.
Lafazh ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa, seperti pada QS [6] : 81 :
Manakah
dari kedua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan? (katakanlah) jika kamu
mengerti.
XXIII.
Kaidah Tanya Jawab
A.
Ragam Tanya Jawab
Suatu
riwayat asbabun nuzul menyebutkan bahwa sekelompok orang bertanya kepada Nabi
Muhammad tentang bulan sabit, mengapa mula-mula terlihat kecil seperti benang,
lalu bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian berkurang lagi
hingga kembali ke keadaan semula. Untuk menjawab hal itu maka Allah menurunkan
ayat QS Al-Baqarah [2] : 189 :
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah, itu tanda-tanda waktu
untuk manusia dan untuk musim haji.
Jawaban
yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang ditanyakan. Jawaban
demikian merupakan kehendak Allah. Maksudnya, jawaban itulah yang seharusnya
ditanyakan. Redaksi semacam ini oleh Al-Salaki, seperti dikutip As-Suyuthi
disebut uslub hakim.
Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :
Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :
Katakanlah
, Siapakah yang menyelamatkan kamu dari bahaya yang mengerikan di darat dan di
laut, kamu berdoa kepadaNya dengan rendah hati dan suara lembut. Sekiranya Dia
menyelamatkan kami dari (bahaya) ini tentulah kami akan bersyukur ? Katakanlah,
Allah akan menyelamatkan kamu dari segala bencana. Namun kamu kemudian
mempersekutukannya !
Adakalanya
jawabannya lebih sempit cakupannya daripada yang ditanyakan. Misalnya pada QS
[10] : 15 :
Bila
kepada mereka ayat-ayat Kami dibacakan dengan jelas, mereka yang tidak
mengharapkan bertemu dengan Kami berkata, Bawakanlah bacaan lain dari ini, atau
gantilah ! Katakanlah, Tiada semestinya aku menggantikannya atas kemauanku
sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Jika tidak mentaati
Tuhanku aku takut akan azab hari maha dahsyat (yang akan datang).
B.
Bentuk-Bentuk Pertanyaan dan Jawaban Dalam Al-Quran
1.
Jawaban bersambungan dengan pertanyaan, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 215
:
Mereka
bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah : Apa saja yang baik
yang kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapak dan kearabat, kepada anak yatim
dan orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan. Dan segala
perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya.
2.
Jawaban terpisah, baik terdapat dalamsatu surat maupun dalam dua surat yang
berlainan, contohnya pada QS [25] : 7 :
Dan
mereka berkata : Rasul macam apa ini, makan makanan dan berjalan di pasar-pasar
? Kenapa tidak diturunkan seorang malaikat kepadanya dan bersama-sama memberi
peringatan.
Jawabannya
ada pada ayat yang berbeda, yaitu ayat 20 pada surat yang sama :
Dan
Rasul-Rasul yang kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar.
3.
Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, contohnya QS [43] : 31-32 :
Mereka
berkata, Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang penting dari kedua
kota ini ? Ataukah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang
membagi-bagikan penghidupan diantara mereka.
4.
Jawaban lainnya ada pada QS [28] : 68 :
Dan
tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tak ada
pilihan.
5.
Pertanyaan yang tidak diberikan atau tidak memerlukan jawaban, contohnya pada
QS [47] : 14 :
Adakah
orang yang berpegang pada (jalan) yang terang dari Tuhannya, sama dengan orang
yang menganggap indah perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsu mereka ?
6.
Jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaan, contohnya pada QS [38] : 4
Shad,
demi Al-Quran yang penuh peringatan.
Ayat
diatas sebagai jawaban atas pertanyaan keheranan orang musyrik Mekkah yang
disebutkan lebih dahulu dari pertanyaan keheranan mereka pada ayat sesudahnya,
yaitu QS [38] : 4 :
Mereka
keheranan ada seorang pemberi peringatan datang dari kalangan mereka sendiri,
orang-orang kafir lalu berkata : dia seorang seorang tukang sihir dan pendusta.
XXIV.
Kaidah Syarat Jawab
Dalam
ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi
dalam dua bagian :
1.
Kata syarat yang menjazamkan fiil : in, idzma, ma, mata, man, kaifama,
haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.
2
Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.
Kalimat
yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.
Beberapa
Contoh Kata Syarat Dalam Al-Quran :
1.
In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.
2.
Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.
3.
Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.
4.
Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132
5.
Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.
6.
Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.
7.
Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.
Perbedaan
Penggunaan In dan Idza :
Menurut
ketentuan asal, mutakallim (orang pertama) tidak bisa memastikan terjadinya apa
yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan kata syarat in. Ia
dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus bedampingan dengan lafazh
mudhari (kata kerja sekarang atau yang akan datang), sebab terdapat segi
keraguan tentang terjadinya.
Adapun
kata syarat idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaan mutakallim optimis
terjadinya apa yang disyaratkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, idza
tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan
berdampingan dengan bentuk madhi (kata kerja bentuk lampau), karena bentuk ini
menunjukkan hal yang pasti terjadi, contohnya dalam QS [7] : 131 :
Bila
mereka mangalami musim yang baik, mereka berkata, Inilah usaha kami. Tetapi
jika mereka ditimpa yang buruk, mereka melemparkan sebab-sebabnya pada Musa dan
pengikutnya. Ketahuilah, nasib mereka ditangan Allah; tapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui.
Hadzf
Jawabusy Syarth
Menurut
As Sadi yang dikutip Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Penafsiran
Al-Quran, apabila jawabusy-syarth dari jumlah syartiyyah dibuang, itu
menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan masalah
siksa maka itu menunjukkan dahsyatnya siksaan tersebut, contohnya :
Sekiranya
engkau dapat melihat ketika orang-orang jahat menundukkan kepala dalam-dalam
dihadapan Tuhan (sambil berkata), Tuhan, kami melihat dan mendengar. Maka
kembalikanlah kami (ke dunia); kami akan mengerjakan amal kebaikan. Sungguh, (sekarang)
kami telah yakin. (QS [32] : 12).
Sekiranya
kau lihat ketika mereka dalam ketakutan, tapi tak dapat melarikan diri, dan
keadaan mereka ditangkap dari tempat yang dekat dan mereka berkata, Kami
sekarang percaya (pada kebenaran). Tapi bagaimana mereka akan beriman dari
tempat yang jauh dan sebelumnya mereka sudah menolaknya dan mereka
(terus-menerus) melemparkan (penghinaan) kepada yang ghaib dari tempat yang
jauh. (QS [34] : 51-53).
XXV.
Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)
Petunjuk
(dalalah) lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, makna
eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan pemahaman (mafhum,
makna implisit yang tersirat).
A.
Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq
terdiri atas 5 (lima) kategori :
1.
Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang
dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain.
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Maka
(wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali,
itulah
sepuluh (hari) yang sempurna.
Penyifatan
sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan lain
secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2.
Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika
ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi
zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang
tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih
disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS
Al-Baqarah [2] : 173 famanidlthurro ghaira baghi wa la ad. Lafazh al-bagh
digunakan untuk makna al-jahil (bodoh, tidak tahu) dan az-zalim (melampaui
batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer
sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah
(marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
Dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci .
Berhenti
haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut tuhr. Namun
penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir)
sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang
pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3.
Muawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muawwal berbeda
dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan
makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi
masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang
tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4.
Dalalah istida adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada
QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.
Ayat
ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka, sebab
kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam
perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada
kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan
atas kamu ibu-ibumu
Ayat
ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata
bersenggama, sehingga maknanya yang tepat adalah diharamkan atas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.
5.
Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187
:
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang
telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar
Ayat
ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam
keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar
sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau
memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab
sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan
bercampur sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi
kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi
dalam keadaan junub.
B.
Mafhum
Mafhum
adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan
yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum
terdiri atas 2 (dua) jenis :
a.
Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan
dengan mantuq.
1.
Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil
hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah
.
Ayat
ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang
tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan
lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak
disebutkan dalam teks ayat.
2.
Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya
pada QS An-Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan
sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan,
merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b.
Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan
dari mantuq.
3.
Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat manawi, contohnya pada QS Al-Hujurat
[49] : 6 :
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti
Ayat
ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh
orang fasik. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah)
bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa,
diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
4.
Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS
At-Talaq [65] : 6 :
Dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkah.
Dengan
pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak
tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
5.
Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
Kemudian
jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
Dengan
pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali
kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi
halal dikawin lagi.
6.
Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
Dengan
pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh
memohon pertolongan kepada selain Allah.
XXVI.
Kaidah Makna Kata (lafazh)
A.
Makna Hakikah (lahir)
Makna
hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah
diklasifikasikan menjadi :
1.
Lughawiyyah Wadhiiyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna
hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa
disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata rajul yang digunakan
untuk menyebut laki-laki dewasa.
2.
Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki
setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa
maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua
bagian, sebagai berikut :
a.
Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan.
Misalnya kata ad-dabbah (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer.
Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata
dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab
dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.
b.
As-Syariyyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna asal
kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan
transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi maknanya harus
berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat, shiyam (puasa), kafir,
haji dan lain-lain.
B.
Makna Majaz (kiasan)
Makna
majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna kata yang
lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan makna hakiki.
Klasifikasi
makna majaz :
1.
Istiarah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru disebabkan
adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang elok dengan
dengan bulan purnama : wajah anda bagai bulan purnama.
Istiarah
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Istiarah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan
persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :
Alif
lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.
Kata
gelap-gulita dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan kata cahaya
dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.
b.
Istiarah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian digantikan
dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya pada QS Al-Isra
[17] : 24 :
Rendahkanlah
sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kash sayang dan
ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.
Obyek
yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata burung
dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu sayap.
c.
Istiarah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi kiasan bagi
yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan bahwa yang
dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang menjadi kiasan. Misalnya pada QS
Al-Mulk : [67] : 8 :
Hampir-hampir
(neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya
sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada
mereka, Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi
peringatan ?
d.
Istiarah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada
tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu dengan
dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya pada QS
Al-Mulk [67] : 22 :
Maka
apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat
petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus ?
Orang
yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk orang-orang mukmin,
sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal adalah kiasan untuk
orang-orang kafir.
3
Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang
diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal dibagi menjadi
empat :
a.
Juziyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2
Bangunlah
dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).
Bangunlah
maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud keseluruhannya yaitu shalat,
jadi bangunlah adalah majaz untuk shalatlah.
b.
Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah
[2] : 19
Mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati.
Anak
jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah salah satu dari
anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari dimasukkan untuk menyumbat
telinga.
c.
Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS
Al-Baqarah [2] : 194 :
Oleh
sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang
dengan serangannya terhadapmu.
Kata
seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang
dimaksud seranglah adalah balaslah.
d.
Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS
Al-Baqarah [2] : 61 :
Oleh
sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi
kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya,
bawang-putihnya, kacang-adasnya dan bawang-merah nya.
Yang
menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya adalah di bumi
maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah apa yang Allah
tumbuhkan di bumi itu.
C.
Musytarak (ambigu)
Musytarak
adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai lafazh musytarak
sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari ayat Al-Quran yang lain
maupun dari sunnah (riwayat hadits).
Contoh-contoh
lafazh musytarak :
1.
QS Al-Baqarah [2] : 228
Dan
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber iddah) tiga kali quru.
Kata
quru bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).
2.
QS An-Nisa [4] : 43 :
Atau
kamu telah menyentuh perempuan
Kata
lamasa bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.
3.
QS Al-Maidah [5] : 38 :
Dan
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Kata
yad bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai
bahu.
XXVII.
Kaidah Am (umum) Khas (khusus)
A.
Lafazh am (umum)
Adalah
lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juziyah) yang relevan dengan
cakupan makna itu tanpa batas.
Allah
berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
Sesungguhnya
Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.
Berdasarkan
keumuman lafazh keluarga pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih
janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar
menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada
QS Hud [11] : 45 :
Dan
Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.
Kemudian
Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud
[11] : 46 :
Allah
berfirman, Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan).
Jawaban
Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata keluargamu yang dijanjikan
akan diselamatkan.
Aneka
Ragam bentuk Am :
1.
Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam
suatu kalimat tanya (istifham) :
2.
Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 272 :
Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan
diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.
b.
QS An-Nisa [4] : 123
Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan
kejahatan itu.
3.
Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiun (seluruh)
a.
QS Ali Imran [3] : 185 :
Tiap-tiap
yang berjiwa akan mengalami mati.
b.
QS Al-Baqarah [2] : 29 :
Dia
lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
4.
Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya
pada QS Al-Isra [17] : 110 :
Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.
5.
Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat
negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah
[2] : 48 :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 48 :
Dan
jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak
dapat membela orang lain, walau sedikitpun.
b.
QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka,
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan
janganlah kamu membentak mereka.
6.
Lafazh masyara, maasyira, ammah, qatibah dan sairun :
a.
QS Al-Anam [6] : 130 :
Hai
golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan
kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini ?
b.
QS At-Taubah [9] : 36 :
Dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi
kamu semuanya.
7.
Isim berbentuk jama yang diawali alif dan lam.
Contohnya
pada QS Al-Maidah [5] : 42 :
Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
8.
Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya
pada QS Ibrahim [14] : 34 :
Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.
9.
Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi,
al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya.
10.
Amr (perintah) dengan bentuk jama (plural)
Contohnya
pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku
.
Macam-macam
penggunaan lafazh am (umum) :
a.
Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] :
49 :
Dan
tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.
Kata
ahadan tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS
An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.
Kata
ummhat ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b.
Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya
pada QS Ali Imran [3] : 39 :
Kemudian
malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di
mihrab.
Lafazh
malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu
Jibril.
c.
Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya
QS Ali-Imran [3] : 97 :
Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.
Ayat
itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu
bagi yang mampu.
B.
Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas
merupakan kebalikan dari Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan
(juziyah) makna.
Takhsis
adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang
umum.
Macam-macam
Mukhashshis (peng khusus).
1.
Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a.
Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang
yang bertaubat
b.
Sifat, contohnya pada QS An-Nisa [4] : 23 :
(Dan
diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.
Anak
tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi.
Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c.
Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat
secara maruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Kalimat
jika ia meninggalkan harta yang banyak adalah syarat, maka bila seseorang tidak
meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d.
Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Dan
janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat
penyembelihannya.
Kalimat
sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan merupakan batas larangan mencukur
rambut kepala saat haji.
e.
Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
Melaksanakan
ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan
kepadanya.
2.
Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain
a.
Ayat Al-Quran yang lain.
QS
Al-Baqarah [2] : 228 :
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (ber iddah) tiga kali quru.
Ayat
tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang
sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis
oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain :
QS
Ath-Thalaq [65] : 4 :
Dan
perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.
Mukhashshish
kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
Apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
b.
Hadits (men takhsis Al-Quran dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] :
275 :
Dan
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Dikecualikan
dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut
:
Dari
Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan
binatang jantan dengan binatang yang lain. (HR Bukhari).
Dalam
riwayat lain disebutkan :
Dari
Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung
oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah
jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang
sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu
beranak pula. (HR Muttafaqun alaihi).
c.
Ijma (men takhsis Al-quran dengan Ijma).
Contohnya
pada QS An-Nisa [4] : 11 :
Allah
mensyariatkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.
Ayat
tersebut dikecualikan secara ijma bagi laki-laki yang berstatus budak..
d.
Qiyas (men takhsis Al-Quran dengan Qiyas)
Contohnya
QS An-nur [24] : 2 :
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera.
Ayat
tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang
berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi
perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa
[4] : 25 :
Jika
mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami.
e.
Akal (men takhsis Al-Quran dengan akal)
Contohnya
pada QS Ar-Radu [13] : 6 :
Allah
adalah pencipta segala sesuatu.
Akal
menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f.
Indera (men takhsis Al-Quran dengan indera)
Contohnya
: QS An-Naml [27] : 23 :
Sesungguhnya
aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.
Indera
kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis)
tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g.
Siyaq (Mentakshis Al-Quran dengan siyaq)
Siyaq
adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya
takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-Araf [7] : 163 :
Dan
tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat
laut . ?
Dalam
ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu
kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah
penduduknya.
Hukum
lafazh am, khas dan takhsis :
1.
Apabila didalam ayat Al-Quran terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka
maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat
dalil yang mentawilkannya dan menghendaki makna lain.
2.
Apabila lafazh itu bersifat am (umum) dan tidak terdapat dalil yang
meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan
kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup
makna itu secara mutlak.
3.
Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka
lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya
itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum
tersebut.
XXVIII.
Kaidah Mujmal (global) Mufassar/Mubayyan (ditafsirkan/dijelaskan)
Lafazh
mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau
penafsiran (tafsir).
Untuk
memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak
ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syari, karena memang Dia lah yang
menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan
adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi
Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1.
Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam
satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa [4] : 176, lafazh kalalah adalah mujmal
yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai
anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Kalalah
adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang
diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
Kalalah
adalah orang yang tidak mempunyai anak.
2.
Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak
terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari
dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a.
Dari ayat Al-Quran yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
Padahal
tidak ada yang mengetahui tawilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam
ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami.
Kalimat
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah mujmal karena ambigutias
huruf wawu, yaitu kata dan. Bisa berkonotasi kata penghubung (athaf) atau Kata
depan permulaan kalimat baru (istinaf). Jika kata dan dianggap sebagai kata
penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah hanya Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya. Namun, jika kata dan dianggap
sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah hanya Allah yang
mengetahui takwilnya sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya yang notabene
tidak tahu takwilnya- berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.
Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak
terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.
Ayat
ini menunjukkan Al-Quran diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada
manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk
(qarinah) dari ayat ini huruf dan pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata
penghubung sehingga konotasinya adalah yang mengetahui tawil ayat-ayat
mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Demikian
pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b.
Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
Siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
Kata
kekuatan pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari
sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
Saya
mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar-
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi,
ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya
kekuatan itu adalah panah.
Macam-macam
bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1.
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2]
: 196 :
Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Ayat
tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang
yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2.
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili)
Contohnya
Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu :
memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan
cara-cara haji, dsb.
3.
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman
Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan
dirikanlah shalat
Perintah
mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu
bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat (HR
Bukhary).
4.
Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan
tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat
(Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan
kepada petugas zakat beliau.
5.
Penjelasan dengan isyarat
Contohnya
seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya
dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh
sembilan hari.
6.
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya
seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu
yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau
meninggalkannya.
7.
Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu
ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu
penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih
menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8.
Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar
(sudah ditafsirkan)
Mufassar
adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada
kemungkinan tawil yang lain baginya.
Apabila
datang penjelasan (bayan) dari syari terhadap lafazh yang mujmal itu dengan
bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar
(ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat,
zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam
mufassar :
1.
Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu
lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk)
yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu
yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya
pada QS An-nur [24] : 4 :
Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Kata
delapan puluh adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak
mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh
lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
Perangilah
orang-orang musyrik itu semuanya.
Kata
semuanya itu adalah mufassar.
2.
Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu
lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash
yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan tawil
lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat,
shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah
menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita
memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata
caranya.
XXIX.
Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) Muqayyad (dengan batasan)
Mutlaq
adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
Dan
orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak .
Lafazh
budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin
maupun kafir.
Muqayyad
adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam QS An-Nisa [4] :92 :
Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali
karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman
Lafazh
budak diatas dibatasi dengan yang beriman
Macam-macam
mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1.
Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang
meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan
(qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan
pengertiannya.
Contohnya,
pada QS An-Nisa [4] : 11 :
(Pembagian
harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar
hutangnya.
Wasiat
yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya,
minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits
yang menegaskan bahwa, Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka. Oleh
sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti
diartikan dengan wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.
2.
Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna
muqayyad.
Contohnya
pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.
Lafazh
darah pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada
QS Al-Anam [6] : 145 :
Katakanlah,
Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu
(makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.
Lafazh
darah pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh yang
mengalir.
Karena
ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh darah yang tersebut pada QS
Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu darah
yang mengalir.
3.
Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap
diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a.
Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa [4] : 43 :
.Maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu
Dalam
hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun
mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
lafazh
(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku adalah muqayyad karena dibatasi sampai
dengan siku.
Kedua
nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu bersuci tapi pada segi hukum
terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa [4] : 43 adalah mengusap
tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai
ke siku.
b.
Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
Apabila
mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir iddahnya, maka rujukilah
kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.
Lafazh
saksi pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun
pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
Apabila
kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu
menuliskannya dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara
kamu).
Lafazh
saksi pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan laki-laki.
Kedua
ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu mengadakan dua orang saksi. Tetapi
pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah rujuk
pada istri sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah :
hutang-piutang.
b.
Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .
Bila
dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya
berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat
ini tentang potong tangan.
XXX.
Terjemah, Tafsir dan Tawil
A.
Terjemah (Translate)
Pengertian
terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain.
Terjemah dibagi dua yaitu secara harfiah (litterlijk) dan secara tafsiriyyah
(manawiyah). Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan
untuk orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari
bahasa.Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah terjemahan
yang tafsiriyaah (manawiyah).
Contoh
dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah :
Dan
kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-papan dan paku-paku. Ia
berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang tidak
dipercayai
maka
terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa dipahami. Maka terjemahan
yang baik adalah secara manawiyyah, yaitu :
Dan
kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari) papan-papan
dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat itu). Ia (kapal itu)
berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran bagi orang-orang yang tidak
dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya, yakni kaum Nabi Nuh).
B.
Tafsir dan Tawil
Ulama
dahulu (mutaqaddimin) tidak membedakan antara tafsir sengan tawil, berkata
Mujahid : Sesungguhnya para ulama mengetahui tawil Al-Quran maksudnya yaitu
tafsir maknanya. Sedangkan ulama kemudian (mutaakhkhirin) membedakan antara
tafsir dengan tawil.
Tafsir
adalah penjelasan tentang makna yang lahir (zhahir) dari ayat Al-Quran
sedangkan tawil mengambil sebagian makna dari makna-makna yang dikandung
Al-Quran.
Contoh,
dalam QS at-Taubah [9] : 41 : Berangkatlah kamu (ke medan perang) baik dalam
keadaan merasa ringan ataupun merasa berat. Frasa kalimat merasa ringan ataupun
berat di tawil dengan dalam keadaan tua ataupun muda.
Menurut
Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Quran itu ada empat macam :
1.
Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
XXXI.
Perkembangan Tafsir
A.
Masa Sahabat
Ibnu
Khladun dalam kitab Muqaddimah-nya menjelaskan : Al-Quran diturunkan dalam
bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu semua orang Arab
memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan
kalimatnya.
Namun
demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak
diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.
Riwayat
Mujahid dari Ibnu Abbas : Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus samawati wal
ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah
seorang mereka berkata : Ana fatartuha, maksudnya ana ibtadatuha (akulah yang
membuatnya pertama kali).
Para
sahabat dalam menafsirkan Al-Quran berpegang kepada :
1.
Al-Quran, yaitu penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lain.
2.
Penjelasan Nabi, mereka bertanya langsung kepada Nabi apabila menemui kesulitan
dalam memahami makna Al-Quran.
Riwayat
dari Ibnu Masud : Ketika turun ayat Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan imannya dengan kezaliman (QS AlAnam [6] : 82). Hal ini sangat
meresahkan hati para sahabat, mereka bertanya : Ya Rasulullah, siapakah
diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?, Beliau menjawab :
Kezaliman disini bukanlah seperti yang kalian pahami. Tidakkah kalian mendengar
apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah kezaliman yang besar (QS Luqman [31 : 13), kezaliman disini
sesungguhnya adalah syirik.
3.
Pemahaman dan ijtihad. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan
Al-Quran adalah empat khulafaur rasyidinh, Ibnu Maud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Kaab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asyari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan Aiysah
ummul mukminin.
B.
Masa Tabiin
Setelah
penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada era Khalifah
Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota Madinah untuk
mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para sahabat menyebar ke
berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di tempatnya masing-masing :
Di
Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabiin yang menjadi muridnya
adalah : Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan
Al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah.
Di
Madinah Ubay bin Kaab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang
lain, diantara muridnya dikalangan tabiin adalah : Zaid bin Aslam, Abu Aliyah
dan Muhammad bin Kaab al-Qurazi.
Di
Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Masud, yang dipandang oleh para ulama
sebagai cikal bakal mazhab ahli ray (akal). Tabiin yang menjadi muridnya antara
lain : Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, Amir
Asy-Syabi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Diamah as-Sadusi.
Pada
masa ini sebagian ulama ahli kitab (Yahudi) ada yang masuk Islam, sebagian
tabiin menukil dari mereka Israiliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir.
Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Kabul Ahbar, Wahb bin
Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij.
C.
Masa Pembukuan
Pembukuan
tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani
Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka adalah : Yazid bin Harun
as-Sulami (wafat 117 H), Syubah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki bin Jarrah
(wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H0, Rauh bin Ubadah al-Basri
(wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam (wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220
H) dan Abd bin Humaid (wafat 249 H). Kitab tafsir pembukuan pertama ini tidak
ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan pada
kitab-kitab tafsir bil masur periode sesudahnya.
Generasi
berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara independen
serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits.
Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (wafat
310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat
327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu
Bakar bin Mardawaih (safat 410 H).
Kemudian
ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan,
cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat,
masalah-masalah kalam semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan
ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta
setiap golongan berupaya mendukung mazhabnya masing-masing. Itu semua membuat
tafsir ternoda oleh iklim yang tidak sehat tersebut, sehingga para mufasir
dalam menafsirkan Al-Quran berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada
berbagai kecenderungan. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya
kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya
membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan hanya
mementingkan kisah dan berita seperti As-Salabi dan Al-Khazin. Tafsir ahli
kalam punya kecenderungan mendukung mazhabnya seperti Al-Jubai, Qadi Abdul
Jabbar dan Zamakhsyari dari Muzilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari Syiah al-Isna
Asyriyah, Ibnu Arabi dari golongan Tasawwuf hanya mengemukakan makna-makna yang
tersirat (isyari).
Kemudian
datanglah masa modern yang memperhatikan masalah kotemporer (kekinian), aspek
sosial, keindahaln uslub dan kehalusan ungkapan, diantara mufasir kelompok ini
adalah Muhammad Abduh, Muhammd Rasyid Ridha, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayyid
Qutub dan Muhammad Izzah Darwazah.
Jenis-Jenis
Tafsir
1.
Tafsir bil Matsur
Yaitu
tafsir yang didasarkan pada nukilan-nukilan yang sahih menurut urutan, yaitu :
Al-quran, hadits, pendapat sahabat, pendapat tabiin.
2.
Tafsir bir-rayi (akal)
Yaitu
tafsir yang didasarkan pada ijtihad sendiri berdasarkan akal semata
3.
Tafsir Isyari (isyarat)
Yaitu
tafsir yang didasarkan pada isyarat yang kadang tidak tertangkap dari tekstual
lahirnya. Contoh tafsir isyari adalah tentang ayat Apabila telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan (QS an-Nasr [110] : 1) maka Ibnu Abbas menafsirkan itu
adalah isyarat tentang ajal Rasulullah yang sudah dekat.
Tafsir
isyari ini banyak digunakan oleh kaum sufi berdasarkan kasyf atau ilham laduni
dalam memahami isyarat makna batin dari Al-Quran.
Menurut
Ibnul Qayyim, tafsir isyari dapat diterima apabila memenuhi empat persyaratan :
1.
Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat.
2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil).
3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut.
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat dipahami oleh akal yang sehat.
2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil).
3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut.
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat dipahami oleh akal yang sehat.
4.
Tafsir Tematik.
Yaitu
tafsir yang hanya membahas pada tema-tema khusus tertentu, seperti yang
berhubungan dengan hukum (ahkam), majaz, Nasikh-Mansukh, Asbabul-Nuzul.
5.
Tafsir Garib (janggal)
Yaitu
penafsiran kata-kata yang asing atau ayat mutasyabih yang dipaksakan untuk
ditafsirkan maknanya, atau penafsiran berdasarkan rayu semata yang sulit
diterima oleh akal sehat. Contoh :
a.
Firman Allah dalam QS An-Naziat [79] : 17 Pergilah engkau (Musa) kepada Firaun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas. Kata Firaun ditafsirkan sifat buruk
yang ada pada setiap manusia.
b.
Firman Allah dalam QS Al-Maidah [5] : 55 Sesungguhnya penolong kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dikatakan
bahwa makna orang-orang yang beriman adalah para Imam Syiah yang dua belas.
Kemudian mereka tunduk diartikan Sayyidina Ali.
32.
Syarat dan Adab Bagi Mufasir
A.
Syarat-syarat Mufasir :
1.
Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran terlebih dahulu.
4. Mencari Penafsiran dari hadits.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran terlebih dahulu.
4. Mencari Penafsiran dari hadits.
Firman
Allah dalam QS An-Nisa[16] : 44 :
Dan
kami turunkan kepadamu ad-dzikr (Al-Quran) agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
5.
Mencari penafsiran dari pendapat (atsar) sahabat, yaitu bila tidak dijumpai
penafsiran dari hadits nabi yang maqbul (diterima).
6.
Mencari penafsiran dari pendapat tabiin, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran
dari para sahabat Nabi.
7.
Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika),
sharaf (konyugasi), balagah (retorika), maani, bayan (kejelasan) dan badi
(efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif
(konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta
mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti
kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid
berkata : Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak
mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.
8.
Mengetahui ilmu ushul tafsir, yang meliputi seluruh pembahasan pada point VII.
Ushul tafsir diatas.
9.
Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabiin.
10.
Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
11.
Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, serta tujuan
tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
B.
Adab Mufasir :
1.
Berniat baik dan bertujuan benar.
2. Berakhlak baik.
3. Taat dan beramal.
4. Berlaku jujur, teliti dan obyektif.
5. Tawadu dan lemah lembut.
6. Berjiwa mulia dan menjaga muruah (kehormatan diri dan agama).
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran.
8. Berpenampilan dan berperilaku yang baik.
9. Bersikap tenang dan mantap.
10. Menghormati pendapat orang lain yang lebih utama.
11. Mempersiapkan dan menempuh metode pnafsiran yang baik.
2. Berakhlak baik.
3. Taat dan beramal.
4. Berlaku jujur, teliti dan obyektif.
5. Tawadu dan lemah lembut.
6. Berjiwa mulia dan menjaga muruah (kehormatan diri dan agama).
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran.
8. Berpenampilan dan berperilaku yang baik.
9. Bersikap tenang dan mantap.
10. Menghormati pendapat orang lain yang lebih utama.
11. Mempersiapkan dan menempuh metode pnafsiran yang baik.
XXXIII.
Kitab Kitab Tafsir yang Terkenal
A.
Tafsir bil Masur
1.
Tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn
Abbas- disusun oleh Abu Tahir Muhammad bin Yaqub al-Fairuzabadi asy-Syafii.
2.
Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jamiul bayan fi tafsiril Quran.
3.
Tafsir Ibn Abi Hatim
4.
Tafsir Abusy Syaikh bin hibban.
5.
Tafsir Abu Lais as-Samarqandhi, Bahrul-Ulum.
6.
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan an tafsiril Quran.
7.
Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Quranil Adzim.
8.
Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Matsur.
9.
Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.
B.
Tafsir bir rayu
1.
Tafsir Abu Ali al-Jubai (salah satu tokoh Mutazilah).
2.
Tafsir Qadi Abdul Jabbar.
3.
Tafsir Zamakhsyari, al-Kasysyaf an haqaiqi gawamidit tanzil wa uyunil aqawil fi
wujuhit tawil.
4.
Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
5.
Tafsir an-Nasafi, Madarikut tanzil wa haqaiqut tawil.
6.
Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
7.
Tafsir Al-Baidawi, Anwarut tanzil wa asrarut tawil.
8.
Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan muridnya Jalaluddin
as-Suyuthi.
9.
Tafsir al-Qurtubi, Al-Jamili Ahkamil Quran.
C.
Tafsir Isyari
1.
Tafsir Gharaibul Quran wa Raghaibul Furqan, karya Syeikh Nizhamuddin al-Hasan
bin Muhammad al-Husain al-Khurasani an-Naisaburi.
2.
Tafsir Al-Quranul Azhim, karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin
Abdullah at-Tustari
3.
Tafsir Ruhul Maani, karya Syihabuddin as-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi.
4.
Tafsir Haqaiqut Tafsir, karya Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-Asad
as-Sulami.
D.
Tafsir Modern
1.
Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridha.
2.
Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi.
3.
Tafsir Fi Zilalil Quran, karya Sayyid Qutub.
4.
Tafsir al-Jawahir, karya Thantawi Jauhari.
5.
Tafsir Fathul Bayan, karya Shidiq Hasan Khan.
34.
Biografi Singkat Beberapa Mufasir.
A.
Ibnu Abbas
Beliau
adalah putra paman Nabi yaitu Abbas bin Abdul Munthalib, dilahirkan ketika Bani
Hasyim berada di Syib, tiga atau tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah
meninggal Ibnu Abbas baru berumur 13 tahun. Ketika perang siffin beliau berada
di al-Maisarah, kemudian diangkat sebagai gubernur Basrah oleh Khalifah Ali.
Setelah Khalifah Ali terbunuh beliau menetap di Mekkah.
Ibnu
Abbas dikenal sebagai Turjumanul Quran (juru tafsir Al-Quran), Habrul ummah
(tokoh ulama umat) dan Raisul Mufassirin (pemimpin para mufasir). Dalam Mujam
al-Bagawi dan lainnya meriwayatkan dari Umar :
Bahwa
Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata, sungguh saya pernah melihat Rasulullah
mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa, Ya Allah,
berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya tawil.
Riwayat
yang disandarkan kepada Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya,
mulai dari yang sahih, hasan, munqathi , dhaif sampai maudlu.
Baihaqi
meriwayatkan dari Ibnu Masud : Juru tafsir Al-Quran yang terbaik adalah Ibnu
Abbas.
Abu
Nuaim meriwayatkan dari Mujahid : Adalah Ibnu Abbas dijuluki dengan al-Bahr (lautan)
karena banyak dan luas ilmunya.
B.
Mujahid bin Jabr
Beliau
dilahirkan pada 21 H, masa Khalifah Umar. Mujahid adalah pemimpin atau tokoh
utama mufasir generasi tabiin, Ia belajar tafsir kepada Ibnu Abbas. Ia juga
banyak meriwayatkan dari Ali, Sd bin Abi Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi bin
Khudaij, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Suraqah bin Malik dan lainnya.
Sufyan
Tsauri berkata : Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu.
Berkata
Ibnu Taimiyah : Syafii, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada
tafsirnya.
Az-Sahabi
berkata : Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya
dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar.
C.
Ibn Jarir at-Tabari
Lahir
224 H di Baghdad dan meninggal 310 H dikota yang sama. Ulama yang luas ilmunya,
banyak meriwayatkan hadits, ahli dalma pen-tarjih-an (seleksi yang lebih kuat)
riwayat-riwayat, banyak mengetahui sejarah tokoh dan kisah terdahulu.
Kitab
tafsirnya Jamiul Bayan fi Tafsiril Quran merupakan kitab tafsir paling besar
dan utama serta menjadi rujukan penting para mufasirin bil masur.
Ibn
Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istimbath (penyimpulan) yang
unggul dan pemberian isyarat pada kata-kata yang samar irabnya. Imam Nawawi
dalam Tahzibnya berkata : Kitab Ibn Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah
kitab yang belum seorangpun pernah menyusun kitab yang menyamainya. Ibnu
Katsir, tokoh mufasir yang sesudahnya banyak menukil darinya.
D.
Ibn Katsir
Nama
lengkapnya Ismail bin Amr al-Qurasyi bin Katsir al-Basri ad-Dimsyaqi Imaduddin
Abul Fida al-Hafiz al-Muhaddits asy-Syafii. Lahir 705 H dan wafat 774 H.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar Atsqolani berkata : Beliau adalah seorang ahli hadits yang faqih,
karangan-karangannya tersebar luas diberbagai negeri semasa hidupnya dan
dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya.
Kitab
tafsirnya Tafsirul Quranil Adzim merupakan tafsir paling masyhur meriwayatkan
dari mufasir generasi salaf dan menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya
serta menjauhi pembahasan irab dan morfologi yang bertele-tele seperti yang
dilakukan kebanyakan mufasir juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada
ilmu-ilmu lain yang tidak significant. Tafsirnya dimulai dengan menafsirkan
ayat dengan ayat Al-Quran yang lain, kemudian dengan pendapat sahabat, pendapat
tabiin dan ulama salaf sesudahnya. Menukil Israiliyat yang relevan dengan tetap
memberi peringatan akan cerita-cerita Israiliyat yang munkar.
E.
Fakhruddin ar-Razi
Lahir
di Ray 543 H dan wafat di Harah tahun 606 H. Sangat menguasai ilmu mantiq
(logika), filsafat serta menonjol dalam ilmu kalam. Kitab tafsirnya Mafatihul
Gaib berisi uraian mengenai kedokteran, logika, filsafat dan hikmah serta
membawa kepada persoalan-persoalan ilmu aqliah yang bukan untuk itu nash
diturunkan. Oleh karena itu kitab tafsir ini kurang memiliki ruh Islam, seorang
penilai mengatakan tentang kitab tafsirnya : Didalamnya terdapat segala sesuatu
kecuali tafsir itu sendiri.
F.
Az-Zamakhsyari
Nama
lengkapnya Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Dilahirkan
tahun 467 H di Zamakhsar. Beliau sangat ahli dalam ilmu bahasa, mani dan bayan.
Bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab imu nahwu dan balagah tentu sering
menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab zamakhsyari sebagai
hujjah. Misalnya mereka mengatakan :Zamakhsyari telah berkata dalam kitab
Al-Kasysyaf atau dalam Asasul Balagah-nya. Beliau orang yang mempunyai pendapat
dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Bukan type orang yang suka
mengikuti langkah-langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja,
tetapi ia mempunyai pendapat orisinal yang jejaknya ditiru dan diikuti oleh
orang lain. Imam Zamakhsyari ber mazhab Hanafi dalam fikih dan ber akidah
Mutazilah. Beliau menafsirkan Al-Quran cenderung kepada mazhab dan akidahnya
dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli.
G.
As-Syaukani
Nama
lengkapnya Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani as-Sanani, seorang
imam mujtahid. Dilahirkan di kampung Syaukan pada 1173 H dan meninggal tahun
1250 H. Dalam fikih beliau ber mazhab Zaidiyah. Kitab tafsirnya Fathul Qadir
menggabungkan antara riwayat, penalaran dan istinbath atas nash-nash ayat.
Reference
:
1.
Studi ilmu-ilmu Al-Quran, author : Manna Khlail al-Qattan. Publisher : Lintera
Antar Nusa.
2.
Al-Quran dan ulumul Quran, author : Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Publisher :
Dana Bhakti Prima Yasa.
3.
Al-Quran sumber hukum Islam yang pertama, author : Drs. Miftah Faridl &
Drs. Agus Syihabudin. Publisher : Pustaka.
4.
Ulumul Quran Praktis, author : Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. Publisher : Idea
Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar